Singgah di Andromeda

Evelyn Gabriella
Chapter #12

Ternyata

Hans merintih kian keras, ia berguling-guling di atas dedaunan kering. Kirana bertindak, mengeluarkan sebutir pil yang dicurinya dari istana.

"Apa ini?" Alva mengendus pil hitam itu.

"Aku mencurinya dari kotak obat istana. Dari label yang tertera di atasnya, aku tahu bahwa ini adalah pereda rasa sakit," Kirana segera memasukkan pil itu ke mulut Hans.

Rintihan Hans mereda. Kukunya yang semula agresif mencakar badannya kini mulai tenang. Begitu pula dengan urat lehernya yang tegang dan menyembul ke permukaan perlahan lenyap.

Suara raungan rendah terdengar dari balik punggung Alva. Ia menoleh, mendapati seekor serigala hitam dengan mata putih menyala.

Jemarinya menarik pelatuk senapan yang ia genggam. Langkah kakinya mengendap, mendekati serigala bermata putih.

"Jangan!" Kirana berdiri di depan senapan dengan merentangkan tangan.

Alva memijat pangkal hidungnya. Entah stimulus apa yang mendorong Kirana melakukan itu. Tak ingin perang mulut lebih jauh, ia menurunkan senapannya perlahan dan mundur.

Sorot mata serigala itu berubah hitam saat Kirana berjongkok di hadapannya.

"Hai, aku Kirana. Tenang, aku tak akan membunuhmu. Kau berhak hidup, sama seperti semua orang di negeri ini. Sekarang, kita dalam misi untuk mengalahkan orang jahat. Bolehkah kau tunjukkan jalan menuju markas diabhal?"

Pikir Alva, kawannya sudah tak waras. Telapak tangannya mendarat di dahi Kirana. Normal.

Serigala itu melolong, mendongakkan kepalanya menyambut purnama. Lantas ia menganggukkan kepala dan berlalu begitu saja.

"Ayo, kita ikuti dia."

Sebenarnya, sejak umurnya menginjak lima tahun, Kirana dapat berbicara dengan hewan apa saja. Baik Kirana maupun hewan yang diajak bicara, bisa saling memahami satu sama lain. 

Ketika kerbau pak kades mengamuk, Kirana lah yang menenangkan kerbau itu dengan beberapa patah kata. 

Hans menyalakan pelita andalannya yang ia titipkan di kantung tas Kirana. Mereka mulai memasuki Hutan Ambers dengan si serigala sebagai pemandu arah. 

Tibalah mereka di sebuah rumah tua tingkat dua yang diapit dua pohon besar. Prajurit flagermush berjejer di muka pintu yang dihias sulur merah. Tengkorak manusia disusun di teras sebagai hiasan selamat datang. Tulang belulang digantung di langit-langit rumah, menjulur ke bawah. 

"Terima kasih tuan serigala. Maaf harus merepotkan anda," Kirana menunduk hormat. 

Serigala itu mengangguk sekilas dan pergi meninggalkan mereka. 

"Aneh, sepi sekali di sini. Tak mungkin diabhal tak membuat persiapan. Pasti ada sesuatu yang salah. Hans, jika terjadi sesuatu, ambil saja pedang di pinggangku sebagai senjatamu," Alva mengencangkan senjata di tangannya dengan mata menelusuri segala arah. 

Boom!

Sebuah sihir gelap dilesatkan dari belakang, tepat mengenai punggung Hans. Ia terpental jauh dari posisi awalnya.

Alva segera membidik pemimpin diabhal yang berdiri tegap di belakangnya. 

Satu

Dua

Duarrr!

Sebuah bom meledak dekat tempat mereka berdiri. Mereka terhempas dengan beberapa serpih peledak menancap pada kaki mereka. Alva merayap, hendak mengambil senjatanya. Ia tak menghiraukan aliran darah yang bermuara ke telapak kakinya. Beberapa senti sebelum jemarinya menyentuh senjata itu, bawahan diabhal sudah menendangnya jauh-jauh. Kini, bawahan diabhal sudah mengerubungi mereka dalam formasi lingkaran. 

Sihir gelap itu terus menarik Hans mendekati mulut jurang yang menganga. Siap sedia melumat tubuhnya kapan saja. Tibalah ia di ujung jurang, dengan keempat jemari yang menahan tubuhnya tak jatuh ke bawah.

"Jika kau mengikuti saranku dulu, mungkin kau tak akan berakhir mengenaskan seperti ini," ejek sang pemimpin angkuh. Dengan sengaja, ia menginjak tangan Hans dengan sepatu yang sudah ditanam ratusan jarum di alasnya.

"Argh... Leizel dengarkan aku. Kembalilah, kawan. Tolong, jangan teruskan jalan sesat ini," gigi-gigi Hans saling menekan, menahan rasa sakit jarum yang mulai menembus kulitnya hingga ke tulang.

"Leizel sudah mati. Aku adalah Legion, pemimpin diabhal yang dihormati. Aku tahu sayapmu sudah tak berfungsi akibat racun kau serap dari kawan barumu itu. Sekarang, hadapilah raja neraka. Selamat tinggal!"

Legion menendang Hans dengan punggung kakinya, tepat mengenai muka kawannya. Detik itu juga, tubuh Hans dilahap jurang tak berdasar itu dengan puluhan jarum yang masih menancap di jemari kanannya.

Alva dan Kirana berdiri saling membelakangi, punggung mereka bersentuhan satu sama lain. Bawahan diabhal datang semakin banyak, memasang posisi kuda-kuda hendak menyerbu kedua bocah itu ramai-ramai.

"Mari kita bertaruh. Jika aku bisa membunuh bawahan diabhal lebih banyak, kelak kau harus menikah denganku. Tapi jika kau membunuh lebih banyak, aku akan menuruti apapun maumu. Bagaimana?" Kirana menarik pedangnya.

"Baiklah, aku setuju," Alva mengetatkan genggaman pedangnya. Ia memasang kuda-kuda sebagai dasar jurus pedangnya.

Tanpa dikomando, mereka bergerak melancarkan jurus pedang masing-masing.

"Hyaatt!" Kirana memompa semangat, membendung serangan lawan yang membanjir datang. Ia melompat, berputar 360 derajat dengan pedang diayunkan konstan. Enam kepala terlepas dalam sekali tebas.

Lihat selengkapnya