“Atma?”
Nada bicara Rama agak berubah, “Atma pada dasarnya gak bisa dilihat manusia,” pemuda itu melirik Gemintang cukup tajam, “kecuali oleh orang-orang yang berhasil melakukan Makappareng.”
“Makappareng?”
“Ritual terlarang yang mengakibatkan seseorang dihantui oleh atma sehingga bisa melihat mereka. Artinya, kemampuan buat melihat atma bukanlah suatu kelebihan,” sorot menyala bak membelah malam dari pemuda itu, kian menjadi, “melainkan kutukan.”
Rama serius—dan Gemintang tak bisa berbohong bahwa dia cukup mengerikan. “Makappareng dikatakan berhasil ketika seseorang berkhianat. Menunjuk atau menaruh perhatian ke sebuah barang bekas, tapi kemudian gak jadi mengambilnya.”
Beberapa hari lalu, Rama menghampiri Gemintang sesaat setelah gadis itu selesai mengisi formulir pendaftaran UKM Kewirausahaan, untuk memintanya memilih salah satu dari empat tumpuk stiker.
Di saat itu, Gemintang menunjuk salah satu. Sayangnya, dalam kotak tersebut, bukan hanya berisi tumpukan stiker, tetapi juga terdapat gantungan kunci berbentuk kepala rubah, sebuah barang bekas.
Perhatian dan perasaan yang dicurahkan Gemintang, sangat besar sehingga cukup untuk menggetarkan hati sang atma dari barang bekas itu. Namun, alih-alih mengambilnya, Rama justru memberikan stiker UKM pada gadis tersebut. Alhasil, sang atma merasa dikhianati.
Menyadari hal itu, Gemintang sangat terkejut. “Gue melakukan Makappareng pas pendaftaran UKM?”
“Iya,” jawab Rama enteng.
Gadis itu makin tak terima. “Karena elu?”
“Bukan gue, tapi si dosen pembina UKM kalian.”
“Sama aja!” Gemintang spontan berteriak kesal, “Namanya penipuan itu! Dari sekian maba lain yang daftar UKM Kewirausahaan, kenapa cuma gue yang harus Makappareng?”
“Semua pendaftar UKM dibuat melakukan Makappareng, lho,” Rama menyipit, agaknya dia juga mulai tak tahan dengan sikap gadis itu, “dengan cara yang berbeda-beda tanpa mereka sadari, tapi gak semuanya berhasil, cuma orang-orang tertentu aja.”
Rama lantas bersedekap dan kembali membuang muka dari gadis itu. “Itu artinya, Gemintang, lu adalah orang terpilih karena tahun ini, di antara maba lain, lu satu-satunya yang berhasil melakukan Makappareng. Yah, itu udah cukup bagus, daripada tahun lalu malah gak ada yang berhasil.”
Meski kalimat terakhir Rama terdengar seperti pujian, itu tak membuat Gemintang senang sama sekali, gejolak kesal juga belum luntur sedikit pun. Lebih lagi, keberadaan mereka, manusia-manusia—atau lebih tepatnya hanya wujud yang menyerupai manusia dan sesungguhnya, kata Rama, adalah atma—membuatnya takut.
“Gemintang, ya, namamu?”
Gadis itu merasakan ujung belakang kemejanya ditarik pelan. Dia spontan menoleh, mencari-cari sesaat, kemudian agak menunduk dan menemukan seorang anak lelaki kecil berwajah bulat manis. Dengan cepat membuatnya bertanya-tanya apakah bocah itu seorang atma. “I—iya … dan gue biasa dipanggil Bintang.”
Anak lelaki itu tersenyum. “Kalau begitu, Bi rasanya lebih mudah diucapkan.”
“Bi?”