Kota Cinta. Bukan hanya slogan semata yang disematkan untuk kota Parepare. Dari segala aspek pembangunan hingga kepariwisataan yang menjadi wujud nyata, bahwasanya kota ini penuh dengan sentuhan cinta. Sebagaimana kisah cinta yang terinspirasi oleh tokoh nasional Republik Indonesia, putra kebanggaan dari daerah Parepare. Ketulusan cinta, yang kemudian diabadikan dalam bentuk Monumen Cinta Sejati. Yang lebih spesial, ketika peresmian monumen jatuh pada tanggal anniversary pernikahan Presiden Habibie dengan Ainun yang ke-53. Gemintang semakin terhanyut dengan kisah cinta sejati, tentunya ia ingin tahu lebih banyak lagi hingga beradaptasi seutuhnya di kota cinta.
Dan seperti yang akan Gemintang tanamkan pada dirinya yang kini mengejar pendidikan di kota cinta. Semuanya karena cinta, ia harus mencintai pilihannya, ia harus mencintai kesehariannya yang baru saja dimulai sebagai mahasiswa, yang tinggal di kost. Meski harus jauh dengan keluarga, dan pilihannya adalah bentuk cinta untuk kota Parepare.
Pukul 09 : 10 tepatnya di dalam gedung fakultas, ruangan T105. Fokus Gemintang tak teralihkan pada seseorang, yang sebanyak kali telah mengacungkan tangan, bertanya dan menjawab pertanyaan Bapak Dosen. Retorika dan juga bahasa tubuh mampu menyihir para mahasiswa lain. Bukan mungkin dan bisa jadi, tetapi ia berkata sesuai pembuktian. Apa yang dia ucapkan pun turut ada faktanya. Tidak ada satupun mahasiswa yang bersuara selain dia, sampai Bapak Dosen berkata.
“Suara Mahasiswa baru kemana, ini? Apa hanya Adimas Megantara di kelas ini?” tanya Pak Mus memandangi wajah-wajah baru di depannya.
Kesempatan pagi ini untuk mengikuti kelas secara offline. Sebelumnya, telah mengikuti dua kali pertemuan yang dilakukan secara online.
“Jangan karena status kalian yang notabenenya Maba ya, Mahasiswa baru. Tidak perlu lagi kalian takut untuk bicara, justru sekarang waktunya kalian bicara sepuasnya.” Pak Mus mulai berjalan-jalan menyusuri meja Mahasiswa.
“Saya pun pernah di posisi kalian. Saya kalau ditatap Bapak Dosen waktu itu, huh, langsung nunduk. Tapi saya berani keluar dari zona yang paling nyaman, yaitu malu dan takut. Gini-gini saya pernah jadi ketua BEM, loh.”
“Throwback nih, Pak,” celetuk Adimas. Mahasiswa lain hanya tertawa kecil, masih takut-takut terbahak kayak Kak Adimas.
“Bisa dibilang begitu, bulan ini saya tepat setahun jadi dosen di kampus tercinta.”
“Tapi udah jadi dosen andalan ya, Pak,” Adimas menimpali.
Lengkapnya, Mus Gitra Firmansyah. Gak tahu kenapa, bukan Pak Gitra atau Pak Firman. Satu, lagi, dia seorang dosen muda. Hmmm, senggol dong.
“Kenapa saya dipanggil Mus? Ada yang tahu, padahal jika dipanggil Pak Gitra, atau lebih keren Pak Firman atau Ansyah? Kan lebih cool lagi?”
“Pak Mus lebih ganteng, Pak,” jawab Adimas.
“Masa? Tapi saya percaya dengan Adimas. Hanya tidak asyik saja, ya, suara mahasiswa baru gak menggemparkan ruangan ini. Maunya gimana? Apa saya harus jadi icon monumen cinta sejati, baru kalian maju untuk berfoto selfie?”
“Hahahah.” Barulah serentak satu kelas tertawa, terutama Gemintang. Asyik juga Pak Mus, belum lagi, Adimas yang selalu melirik dan jangan lupa senyumannya.
“Nah. Begitu kan bagus. Jadi saya bisa dengar suaranya. Tapi wajar ya, kalian masih baru, dan yah, masih takut-takut, takut salah, takut diketawain dan malu, yang jadinya malu-maluin, kayak sewaktu zoom. Siapa itu yang tidur, ileran tapi tetap ganteng ya.” Pak Mus dengan ekspresi serius menatap ke arah belakang.
Semua kembali tertawa. Emang benar sih, terkadang yang malu, pada akhirnya bakal malu-maluin. Hahaha.
“Fauzi Alfhayed, ya kalau tidak salah?”
Yang disebut namanya pun malah tertawa memamerkan lesung pipinya. Teman di sampingnya turut memberi ledekan, genteng doang, hobi tiduran kalau kuliah.
“Kata anak jaman now, genteng doang, ya.” Pak Mus terus memecahkan ruang kelas. Hingga suara terbahak-bahak menggema. Siapa tuh, suara kayak toa masjid.
Adimas menoleh kiri kanan, mencari seseorang yang ingin dijadikan target percaya diri. Jika dilihat-lihat Maba sekarang beda dengan Maba angkatannya, kalau di kelasnya ributnya, astagfirullah. Lah, ini, diam-diam mulu perasaan, malu apa gimana. Sampai Adimas mengajak bicara salah satu Maba cewek di sampingnya. Yang sedari awal sudah diliriknya, sih.
“Mau bicara nggak?”
Gemintang gelagapan, “Eh, enggak.” Gemintang menggigit bibirnya, takut kalau Adimas tau, bahwa sedari tadi ia terus memperhatikan seorang Adimas Megantara.
Adimas bertanya lagi, “Kenapa? Katanya Mahasiswa, harus berani speaking dong!”