Dentuman kecil dan gemerisik dari ransel di punggung, membuat Gemintang ragu untuk berlari lebih cepat—dia takut laptopnya justru rusak karena berbenturan dengan buku-buku. Namun, dia harus bergegas.
Seharian ini, dia memiliki empat kelas dengan jadwal padat. Sudah begitu, sepulang kuliah, Gemintang masih harus mengerjakan tugas kelompok bersama teman-teman. Gadis itu bahkan tak memiliki waktu untuk sekadar kembali kost demi meletakkan ransel.
Meraih knop, Gemintang bergegas membuka pintu tepat di sebelah plang Singgah Lima Menit. "Kak Rama, maaf gue telat—"
Seolah badai menerpa habis-habisan tanpa peringatan apa pun. Belasan atma mendadak sudah melesat cepat ke arah Gemintang, bahkan sebuah tangan menyedihkan yang seakan ikut berteriak histeris ketakutan, terulur tepat di hadapan.
Gemintang belum pernah mengamati para atma itu dari dekat dan dia tak menyangka bahwa mereka memang benar-benar sempurna untuk mewakili kata bengis dan dengki. Gerigi mengatup erat, seakan siap mencabik apa pun sekalinya terbuka. Leher maupun lengan mereka memperlihatkan otot dan urat jelas-jelas, sangat garang.
Sementara sisanya, dari sepasang mata yang berbinar, seolah meneteskan air mata kristal bersinar terang, terjatuh ke dalam jurang gelap tanpa dasar. Seperti sisa harapan kecil, yang tak akan dilepaskan, meski tahu bahwa itu sia-sia.
Luapan perasaan sebesar itu, seakan-akan merasuk ke dalam raga Gemintang, menjadikannya membeku dengan seribu angan bercampur aduk dan tak jelas, tetapi menyakitkan, memenuhi kepala.
Hanya dalam seper sekian detik, Gemintang seketika menahan napas, lantaran menyadari hal lain yang tak kalah mengerikan. Barusan, apa yang dia lakukan? Mengapa dengan bodohnya dia membuka pintu tanpa berpikir dua kali. Bila seperti ini, para atma mungkin saja ….
"Berhenti, kalian semua!" Rama tiba-tiba berteriak lantang hingga menggelegar.
Seluruh gejolak tak terkendali itu bak tersedot kembali ke dalam bumi. Benar-benar habis tanpa sisa, seakan tak ada apa pun yang baru saja terjadi. Bahkan udara agak dingin dalam toko, menjadi sedikit lebih hangat kembali.
Gemintang menghembuskan berat, napas yang beberapa saat lalu sempat tertahan. Nyawanya bak kembali usai mengunjungi semesta lain selama beberapa detik. Dia memandang depan tatapan yang masih belum bisa sepenuhnya fokus.
"Kenapa wajah lu kayak gitu?" Bicaranya Rama terdengar mengejek. "Sekali pun pintu terbuka, atma gak bakal bisa keluar. Yang menahan mereka bukanlah pintu atau pun dinding, melainkan portal. Rasanya gue udah pernah jelasin ini sebelumnya." Mata dengan sorot tajam khas pemuda itu, menyipit sinis. "Apa lu lupa?"
Gemintang tersentak, kemudian langsung buru-buru berkata, "Nggak lupa kok!" Suaranya yang sempat tegas itu kemudian melirih drastis, "Gue … cuma kaget aja."
Rama kian mengernyit dengan sorot tajam yang makin menusuk pula, sama sekali tak bisa percaya akan gadis itu.
Gemintang begitu saja berpaling sesaat setelah sekilas mendapat bagaimana pemuda itu menatapnya. Senyuman langsung mengembang lebar saat seorang anak lelaki duduk di tepi ruang. "Daluang!"
Anak lelaki itu tersenyum lebar seperti biasa. Wajah bulatnya makin menggemaskan dengan pipi yang menggembung. "Bi."