Rama menggerutu sendiri, "Masih mending gak ada lagi yang berusaha mecahin kaca jendela."
Gemintang agak terkejut. Dia langsung teringat saat pertama kali ini menjaga toko dan melihat para atma memberontak keluar. Salah satu dari mereka sangat digelayuti hasrat dengan berlebihan dan nyaris memecahkan kaca jendela. "Atma itu … emangnya ke mana?"
"Terjual."
Gemintang tersentak. "Gak apa-apa? Apa gak berbahaya? Atma dari barang bekas itu, kan, agresif banget."
Terdiam sejenak, Rama kemudian menghembuskan napas panjang dengan sangat kentara. Dia tetap buka suara, meski ogah-ogahan, "Ketika terjual dan memiliki pemilik baru, atma bakal kembali menyatu dengan barang bekasnya." Dia sedikit membuka tudung jaket dan melirik Gemintang. "Gue udah jelasin kan dulu, atma cuma muncul dari barang bekas, sebuah benda yang ditinggalkan. Perasaan dan isi hati barang bekas, meluap, lalu menciptakan wujud atma. Ketika mereka gak lagi ditinggalkan, punya pemilik baru, maka ada seseorang yang bisa menerima perasaan maupun isi hati itu sehingga atma gak lagi punya alasan buat muncul."
“Gitu …,” Gemintang berujar lirih, “ya.” Dia memahami penjelasan Rama dan merasa tak keberatan dengan fakta itu, bahkan layaknya kabar baik karena tak perlu lagi mengkhawatirkan atma agresif dan penuh dengki, yang dibawa pengunjung toko. Namun, entah mengapa, hal itu agaknya juga terasa seperti penyelesaian yang tidak benar-benar menuntaskan masalah.
“Kalo gak ada pertanyaan lagi, lu diam—”
“Oh!” Gemintang tiba-tiba sangat pucat. “Gue baru ingat!”
Rama langsung berdecak kesal. Wajahnya yang semula sudah agak santai, kembali berkerut penuh amarah dengan jauh lebih parah daripada barusan. “Gak usah berisik bisa gak sih? Semenjak ada lu, tiap kali jagain toko, gue jadi depresi!”
Gemintang menanggapi enteng, “Cukup gak usah dengerin gue, kan beres.”
Seketika, Rama melirik sinis gadis itu, “Gimana kalo lu aja yang mulutnya ditutup?”
Gemintang mendengus. “Terserah Kak Rama mau ngomong apa, yang penting gue mau ngerjain tugas dulu. Gue lupa kalo masih ada yang belum dikerjain, udah gitu deadline-nya besok lagi!” Dia asal membuka ransel dan mengeluarkan laptop.
“Hah? Apa-apaan sih lu?” Rama makin bersungut-sungut. “Ini bukan tempat ngerjain tugas, tahu! Lagian, kalo gitu caranya, sama aja lu gak ikut jagain toko!”
“Gak peduli!” Gemintang menyalakan laptop, lantas sibuk dengannya tanpa terlihat ingin menatap Rama sedikit pun. “Jangan marah ke gue, ngomel aja ke Pak Dosen yang ngasih tugas terus tiap minggu!”
Rama bangkit dari kursi. “Lu—”
Dentuman agak kencang mengisi ruang saat Gemintang mengeluarkan buku dari ransel dan diletakkan dengan agak kasar. Namun, bukan itu yang membuat Rama tersentak, melainkan sebuah nama di sampulnya. Adimas Megantara.
Dari sekian mahasiswa di kampus, mengapa harus dia?