Langkah itu baru saja tiba, bersamaan dengan karet rambut terjatuh tepat di depan sepatu Gemintang, hingga membuat rambut gondrong Rama terurai sembari diterpa angin laut.
Seluruh tubuhku, terpaku dan membisu, detak jantungku berdetak tak menentu...
“Kenapa lu?” sentak Rama saat Gemintang terus menatapnya.
“Hahaha, Bi?” Adimas ikut tertawa kecil, dan menyadarkan Gemintang dari lamunannya.
“Iya, Kak. Siap!” ucap Gemintang spontan.
Lucu, jujur Rama.
“Duduk, Bro,” suruh Adimas, Rama hanya mengangguk kecil.
Gemintang malu, jadinya Rama makin besar kepala nantinya. Namun sekali lagi, Gemintang tidak ingin munafik, bahwa Rama memang, yah ganteng. Belum lagi almamater yang dia pakai sekarang, adalah khas anak UKM kewirausahaan, dan Gemintang belum memilikinya karena masih berstatus sebagai anggota baru.
“Lu dari sekret?” tanya Adimas pada Rama.
“Nggak.”
“Oh.”
“Kak—“
Keduanya menatap Gemintang bersamaan, sedangkan Gemintang menatap Rama.
Huhuhu.
“Kenapa?” jutek Rama.
“Langsung kita kerjain?”
“Mau ngapain emang?” ketus Rama.
“Maksud Bintang, siapa tau lu ada mau bahas sesuatu gitu?” ujar Adimas meluruskan.
“Nggak ada. Kalo bisa secepatnya, gue ada urusan urgent setelah ini.”
Gemintang mengangguk, Adimas pun mengeluarkan laptop dan buku yang akan menjadi refrensinya. Sedangkan Rama mulai fokus pada catatan kecil di tangannya.
Jujur Gemintang sedikit tidak nyaman ketika bersama dengan kedua cowok aktivis kampus ini. Suasananya semakin awkward, saat keduanya sibuk dengan tugas, lain dengan Gemintang yang sedang memperhatikan Keduanya.
Adimas menoleh, tepat ketika Gemintang menatapnya. Ampun suhu, Adimas tersenyum lagi, menampilkan deretan giginya yang memakai behel berwarna hitam.
“Oh, ya Bi. Nanti kamu buat formatnya dulu, entar gue sama Rama ajarin kalo ada yang salah.”
“Eh, bentar?” sela Rama, “Gue bentaran doang!” Katanya lagi.
Buset! Eh, tau-taunya mau yang paling ringan. Cibir Gemintang membatin.
“Sekalian bantuin buat daftar isinya, Ram.” Adimas menambahkan, meski Rama terlihat kesal.
“Iya.”
Ketiganya kembali sibuk, Rama mulai mengambil alih laptop dari Adimas, dan sedikit bergeser di dekat Gemintang. Adimas mengalihkan pandangan ketika melihat pergerakan Rama.
Gemintang menahan napas untuk tidak bersuara dan mengatakan, “Lu wangi, Kak. Aroma parfum Rama begitu menusuk indra penciumannya, wanginya terkesan begitu lembut. Bagaimana tidak, Rama begitu dekat dengannya sekarang.
“Jangan gue yang lu perhatiin. Noh laptop!” ejek Rama.
“Pede banget sih, Kak!” elak Gemintang tak terima.
“Lu bilang apa?” tanya Rama menatap Gemintang di sampingnya. Yang ditatap pun mulai gugup dan tidak ada nyali untuk menatap balik.
“Udah,” lerai Adimas, “Lu bilang ada urusan penting setelah ini kan? Kerjain dengan tenang.”
Sok kalem, lu! Sinis Rama lalu kembali melanjutkan.
"Tangan lu udah sembuh kan?” tanya Adimas pada Gemintang, sedangkan tangannya sibuk menulis pada buku catatannya.
“Iya, Kak. Udah agak mendingan, btw makasih buat kemarin.”
“Santai aja.” Adimas tersenyum manis. Semanis itu, sampai semut aja pengen mendekat.
Rama melirik keduanya dengan wajah ditekuk. Gemintang bahkan tidak memperhatikan laptop, pandangannya terus fokus pada Adimas.