Singgah Lima Menit

Lisa
Chapter #15

Pemilik Lawas

“Gue ada urusan di tempat lain. Lu …,” Rama berhenti di ambang pintu, dengan satu tangan agak terangkat lantaran masih memegang knop. Dia agaknya sungguh enggan untuk mengucapkan kata-kata ini, tetapi tak apa pilihan lain, “harus jagain toko sendirian.”

Rama tiba-tiba agak ketus, entah mengapa—mungkin dia kesal dengan diri sendiri karena harus mempercayakan toko pada Gemintang seorang, “Gue cuma pergi bentar. Setelah gue balik, lu boleh pulang.”

Agak tertegun sesaat, Gemintang kemudian mengangguk kecil. "Gue gak masalah sama sekali."

Menghela napas gusar, Rama membiarkan pintu tetap terbuka, sedangkan dia memasuki toko. Pemuda itu berhenti tepat di tengah ruangan, kemudian menurunkan sebelah lutut. Salah satu tangannya menyentuh lantai.

Gemintang tak terlalu tertarik. Toh, Rama paling hanya mengambil sesuatu yang terjatuh atau membersihkan sedikit debu di lantai. Namun, nyatanya, tak sesederhana itu. Meski hanya melihat dari kejauhan dan tak terlalu jelas, Gemintang benar-benar yakin bahwa pemuda itu membuka sepetak ubin lantai.

Spontan Gemintang bangkit dari duduk, berniat mengambil sudut pandang yang lebih luas untuk mengamati lebih jelas apa yang dilakukan sang kakak tingkat. Sayangnya, di saat bersamaan, Rama kembali menutup sepetak ubin lantai tersebut.

"Kak Rama, itu …."

"Portal." Dia bangkit kembali, lantas berbalik dan melangkah pergi. Sesaat setelah menggapai knop pintu, Rama berhenti dan menoleh belakang dengan tatapan tajam. "Jangan lu sentuh." Tanpa menunggu respons Gemintang, pemuda itu meninggalkan toko.

Memandang pintu toko yang dengan cepat sudah tertutup kembali itu, Gemintang sekadar menghembuskan napas kesal sambil memajukan bibir.

"Memang kerap sibuk …," Gana menatap arah yang sama dengan Gemintang, sambil meletakkan dua tangan di pinggang, "Rama itu."

Gemintang agak terkejut, spontan menoleh ke atma itu. "Eh, seriusan?"

Masih memandang agak kosong pintu tertutup Singgah Lima Menit yang terkesan sepi, dia mengangguk. "Tuan Darman sering memintanya melakukan berbagai hal, entah apa itu. Aku tak terlalu penasaran, toh itu sama sekali terlihat akan membuat Rama terluka."

Kemudian, Gana ganti menoleh menatap Gemintang dengan fokus. "Tuan Darman akan datang tiap kali Rama pergi. Namun, karena sekarang ada Bi, kurasa dia tak perlu datang."

Entah mengapa, Gemintang ingin tersenyum, meski tak lebar-lebar.

Tiba-tiba saja, seorang anak lelaki melintas. Lebih lagi, aura yang memancar darinya sangat kukuh dan penuh tekad. Sama sekali tak ada celah untuk keraguan agar dapat terselip.

Gemintang agak terbelalak. "Daluang?"

Anak lelaki itu kemudian berhenti di depan pintu. "Rama sama sekali bukan orang yang menyenangkan. Dulu, aku sering mengajaknya bermain petak umpet, tetapi dia selalu menolak. Suatu saat, entah mengapa dia mau mengiyakan. Rama ingin aku berperan sebagai penjaga, sedangkan dirinya bersembunyi."

Tatapan mata Daluang agak buyar, seolah dia melihat sebuah rekaan ulang dalam angan. "Tapi, ternyata, Rama bermain licik, dia justru pergi keluar toko." Perlahan, anak lelaki itu mengangkat satu tangan. "Bi, kau tahu, para atma agresif itu, mau seberapa keras berusaha meninggalkan toko, mereka tak pernah menyentuh pintu, 'kan?"

Gemintang tersentak, seketika terbelalak.

Senyuman Daluang mengembang dengan cepat. "Aku akan melanjutkan ceritanya." Kemudian, raut ceria itu dengan drastis pula menghilang lagi. "Bila begitu, mau seperti apa pun berusaha, aku tak akan bisa mengejar, apalagi menemukan Rama." Jemari mungilnya yang menjuntai, bergerak menyentuh pintu.

Sepanjang empat sisi dinding toko yang semula sekadar putih bersih dan tampak biasa saja, tiba-tiba muncul cahaya merah, membentuk sebuah garis yang membentang mengelilingi ruang. Sinar serupa kemudian muncul kembali, bergerak perlahan hingga membentuk beberapa perisai besar dengan trisula di dalamnya, yang berjajar tanpa menyisakan celah.

Begitu Daluang menjauhkan jemari dari pintu, cahaya yang sedemikian rupa membentuk pola tersebut, ikut redup.

Lihat selengkapnya