Singgah Lima Menit

Lisa
Chapter #16

Bintang

"Daluang, pemilik lu dulu emang siapa?" Alih-alih menyusuri jalanan di depan Singgah Lima Menit, Gemintang memilih memasuki gang di sebelah toko. Dia tak ingin mengambil risiko ada banyak orang yang menganggapnya aneh lantaran dikira berbicara dengan udara kosong.

“Cukup jauh dari sini. Dia anak dari seorang seniman. Ayahnya adalah pelukis dan ibunya adalah penjual lukisan. Kombinasi yang sempurna, bukan? Maka karena itu, mereka menjadi kaya dalam waktu singkat.”

Daluang masih tetap antusias bercerita, “Kau tahu, rumah mereka bahkan sangat artistik. Memang bangunannya tak terlalu besar, tetapi bergaya roma dan memiliki pelataran yang luas dengan taman seperti miniatur keindahan-keindahan alam. Sangat unik.”

“Roma dan miniatur alam, ya.” Gemintang mengingat-ingat. “Kayaknya gue pernah dengar tentang itu pas ngobrol sama teman-teman sekelas.” Dia mengamati sekitar. “Lewat sini, Daluang.”

Dengan semangat, anak lelaki itu menyesuaikan langkah dengan Gemintang. Sejak tadi, senyuman merekah sama sekali tak luntur sedikit pun dari wajah bulatnya. Mata lebar bocah itu juga berbinar, bak penuh gemerlap elok, menggemaskan.

Melihatnya, Gemintang ikut gembira. “Orangnya kayak gimana … pemilik lawas lu itu?”

“Dia anak yang baik, lho.” Daluang melompat-lompat kecil. “Dia memang terkadang mengaku bosan karena diminta homeschooling oleh orang tuanya, tetapi dia selalu senang tiap kali meniru lukisan ayahnya di papan tulis mainan."

Sudut bibir anak lelaki itu, terangkat dengan tinggi. Bicaranya, benar-benar tulus, "Dia sangat menyayangi … papan tulis mainan itu."

Gemintang rasa, itu artinya anak tersebut sangat menyayangi Daluang. Masih tetap melangkah sambil mengamati sekitar, gadis itu kemudian tersentak dan perlahan melambatkan langkah. “Rumah itu ….”

Bangunan cat krem dengan pilar-pilar besar nan tinggi, kemudian halaman depan berhias air terjun buatan dan kolam bak danau. Seketika, bola mata Daluang melembar. Pipinya yang tembam dan makin menggembung akibat senyuman lebar, menjadi merona oleh jutaan rasa terpendam yang perlahan mulai meluap. Dia benar-benar tak menyangka, akhirnya bisa melihat tempat ini lagi.

“Pemilik lawas lu itu anak dari pemilik rumah itu, 'kan, ya?” Berhenti di seberang jalan, Gemintang berusaha memeriksa kediaman tersebut. Dia makin tak sabar, saat menyadari ada seseorang di halaman, meski tak terlalu terlihat lantaran tertutup pagar.

Daluang adalah atma dari barang bekas berupa papan tulis mainan. Bila benda itu telah dibuang, kemungkinan si pemilik sudah dewasa. Gemintang memang tak yakin, tetapi minimal anak tersebut pasti sudah memasuki SMP.

Menemukan celah gerbang sehingga berhasil melihat siapa gerangan di halaman rumah, seketika Gemintang berbinar. Benar dugaan gadis itu, ada seorang anak SMP di sana. Dia menemukannya. “Daluang—”

Gemintang merasakan ada sesuatu aneh. Ada yang tak beres. Bahkan, terasa berbahaya. Spontan, dia menoleh belakang.

Daluang memudar. Tangannya mulai berubah menjadi serpihan yang terbang ke langit. Dia memandang diri sendiri kebingungan. Namun, dari tatapannya, anak lelaki itu tahu bahwa ini bukanlah pertanda naik.

Daluang beralih memandang Gemintang, dengan tatapan serupa yang justru membuat gadis itu membeku. “Bi ….”

Gemintang tersentak bukan main, bak tercekik. “Daluang?”

Serpihan makin banyak beterbangan, sedangkan tubuh Daluang kian habis. Anehnya, dia tiba-tiba justru tersenyum dengan sangat manis. “Aku sungguh senang, Bi sampai jauh-jauh mengajak kemari.” Netra bulat lucu anak lelaki itu tampak basah, lalu meneteskan air mata. “Terima kasih banyak.”

Seketika, Gemintang berlari memeluknya. “Daluang!” Namun, hanya ada udara kosong. Serpihan tersebut menjadi kerlipan bercahaya yang memenuhi langit, menarik habis bocah itu dari tangan Gemintang.

Sangat terguncang, Gemintang begitu saja jatuh menekuk lutut. Dia tak bisa berkata-kata, sekadar menatap depan kosong. Dalam hati, gadis itu terus berharap bahwa ini hanyalah mimpi, sama sekali tidak nyata, dan semua akan segera kembali seperti semula begitu dia terbangun.

Sayangnya, tiap detak jarum jam justru berdentang makin kencang, seolah menggertak Gemintang tegas-tegas bahwa dia tak bisa kabur dari apa yang telah terjadi.

Langkah cepat tergesa, sayup-sayup terdengar dari kejauhan, perlahan menjadi kian kencang, hingga kemudian berhenti begitu suara itu tepat berada di belakang Gemintang.

Lihat selengkapnya