Hari ini tepat sepekan Gemintang istirahat dari kegiatan UKM Kewirausahaan, tetapi rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kali menyentuh pintu Singgah Lima Menit. Dia tak bisa berbohong bila merindukan toko, tetapi alasan untuk menjauh dari tempat itu, lebih kuat.
Ketika bersama orang lain, Gemintang dengan mudah tersenyum seolah tak terjadi apa pun. Namun, begitu sendirian, dia langsung berubah murung. Gemintang benar-benar tak menyangka, bahwa dengan meninggalkan Singgah Lima Menit, akan ada banyak bagian dari hidupnya yang ikut menghilang—dan saat ini dia tak tahu bagaimana cara mengembalikannya.
Menghela napas panjang, Gemintang mengurungkan niat untuk belajar lantaran suasana hatinya belum juga membaik. Dia melangkah menuju jendela kamar kost, lantas menyibak gorden, berharap akan merasa lebih baik usai melihat dunia luar.
Seorang remaja lelaki tiba-tiba muncul di balik jendela. “Bi.”
Gemintang seketika melompat, terkejut bukan main. “Gana? Kok bisa ….”
“Rama sedang pergi untuk mengerjakan sesuatu dan Tuan Darman menggantikannya berjaga. Beliau sepertinya mengerti apa yang terjadi kemarin dan bertanya apakah aku ingin menemuimu.”
Gemintang menatap Gana dengan wajah yang mulai tenang, dia pasti sudah paham kelanjutannya cerita tersebut. Kemudian, gadis itu terpikir hal lain. "Emangnya gak apa-apa, ya, lu ke sini?"
“Tempat ini tak terlalu jauh dari toko. Tuan Darman bilang, aku akan baik-baik saja.” Gana lalu tertawa kecil sambil berlagak imut. “Sesungguhnya …. sebelumnya, aku menghabiskan waktu dengan mengumpulkan kepik-kepik lucu di taman kecil dekat gang di depan. Sekarang, kurasa bahkan Rama telah kembali dan Tuan Darman sudah pergi dari toko.”
"Gana …," Gemintang tergelitik melihatnya, "lu gak berubah sama sekali, ya?"
Sudut bibir remaja lelaki itu terangkat kian tinggi. Namun, berselang sebentar, sumringah itu luntur menjadi sendu. “Kemarin … maaf karena aku tak menepati janji.”
Gemintang menghela napas kecil, lantas tersenyum tipis. “Gak apa-apa, itu bukan janji. Lagian, justru bagus. Kalo semisal Kak Rama gak datang, gue benar-benar gak tahu harus berbuat apa.”
Sejenak, Gana terdiam. Dia masih saja memandang gadis itu dengan tatapan yang belum berubah—atau bahkan makin murung. “Tapi … kurasa Rama memarahimu.”
Terpaksa, Gemintang mengangguk kecil, senyuman yang masih bertahan, berubah menjadi paksaan.
"Bi …,” Gana menatap gadis itu lebih lekat, “maukah kau memaafkan Rama?"
Gemintang agak tersentak. "Emangnya kenapa?"
"Karena memarahimu."
"Soal itu … gue gak keberatan." Gemintang kemudian agak menunduk, suaranya melirih, "Gue yang salah."
Beberapa saat, Gana sekadar memandang Gemintang yang agaknya mulai melupakan keberadaan remaja lelaki ini di sini. Gadis itu berpaku pada diri sendiri, dengan sengaja memaksa diri sendiri untuk menyangga batu besar.
Gana sedikit mendekatkan wajah padanya, "Lalu, maukah kau memaafkan dirimu sendiri?"
Gemintang tersentak, spontan memandang Gana kembali.
"Bi." Suara Gana menjadi kian lembut, "Mau kau menyalahkan dirimu sendiri atau pun orang lain atas peristiwa itu, aku ingin kau memaafkannya. Berdamai." Tatapan remaj lelaki itu makin memancarkan perhatian. "Kau tahu mengapa?"
Gana meraih jendela kaca tepat di balik Gemintang meletakkan tangannya, seakan-akan dia menyentuh gadis tersebut. "Toko itu, Singgah Lima Menit … membutuhkanmu, Bi."