Hari lalu, atma paling agresif adalah yang nyaris memecahkan jendela kaca toko. Kini, usai barang bekas darinya terjual, posisi itu digantikan atma berwujud gadis beberapa tahun lebih muda dari Gemintang, berasal dari sebuah kandang kucing empat tingkat yang terbuat dari aluminium.
Berdasarkan pengamatan Gemintang selama beberapa kali menjaga toko, atma itu adalah yang paling kasar, dia tak ragu untuk menginjak teman-temannya demi berusaha meraih pintu—meski pada akhirnya tak pernah berhasil.
Atma itu kini berdiri menyandar pinggiran salah satu rak toko, sambil bersedekap dan memandang pintu dengan wajah garang, seolah-olah dia tak ada melewatkan sedetik kesempatan pun begitu portal terbuka.
Menatapnya, Gemintang menjadi teringat kemarin, syukurlah atma tersebut tak ikut keluar saat dia membukakan portal untuk Daluang. Lantas, gadis itu menghampirinya. “Huta.” Nama itu yang seketika melintas dalam benak, memiliki arti benteng bertembok dan berbentuk bujur sangkar.
“Jangan asal memberiku nama!” Dia melirik Gemintang dengan sorot mata makin menusuk. “Aku tak sudi menerima pemberian apa pun dari orang sepertimu!”
Agak jauh dari mereka, Rama menyeringai, sudah mengira bahwa Gemintang tak akan berhasil.
Gemintang memejamkan mata lesu, sambil menghela napas panjang. “Ya udah ….” Dia lantas memandangnya kembali, dengan tiba-tiba berubah cukup serius. “Tapi, lu mau dengerin gue bentar?”
Atma gadis itu terdiam. Namun, caranya menatap Gemintang belum berubah. Dia seperti mengiyakan, tetapi akan langsung pergi apabila Gemintang nanti bicara terlalu banyak.
“Gue emang gak tahu apa yang bikin pemilik lawas lu membuang barang itu,” Gemintang melirik kandang kucing aluminium empat tingkat di seberang rak, “tapi yang jelas, balas dendam cuma sia-sia. Kalau pun lu bisa ketemu dia lagi, orang itu gak bakal mau menerima lu.”
Gemintang mendekat, dengan satu langkah kaki yang menggema seisi ruang. “Lu tahu kenapa?” Dia memasang senyum tipis sambil mengangkat alis, kasihan. “Karena lu udah gak berguna.”
Seketika, sebuah kepalan tangan melayang ke arah Gemintang. Namun, gadis itu tak gentar. Lagi pula, di saat bersamaan, tangan lain datang untuk menahan pukulan itu sebelum sempat menyentuh wajahnya.
Dengan keringat yang masih bercucur, Gana menatap atma gadis itu dengan tajam. “Bila kau berani melukai Bi, tak akan ada ampun!” Agaknya dia sudah lebih merasa baikan dari reaksi trisula portal, meski masih tampak kelelahan dan pucat.
Rama menatap tajam atma remaja lelaki itu, lantas berujar sinis, “Mundur. Jangan ikut campur atau penilaian gue bakal berubah.”
Gana tersentak. Sangat berat hati, dia terpaksa melepaskan tangan atma gadis itu yang mengepal, kemudian menjauh beberapa langkah.
Atma gadis itu sungguh menurunkan tangan, meski wajahnya yang garang sama sekali tak berkurang. Dia menatap Gemintang dengan sinis dan tajam, serta sedikit sorot menghina. “Apa yang kau tahu tentang atma? Hah?”
Gemintang tak mengatakan apa pun. Tatapan matanya pada atma itu sama sekali tak berubah, kukuh tanpa goyah sedikit pun.
Sayangnya, itu justru membuat si atma makin gusar. Muak bukan main—atau lebih tepatnya, sesungguhnya dia merasa terpojok, tetapi sedikit pun tak ingin mengakuinya. "Jangan memandangku seperti itu!"
Atma gadis itu spontan menunduk. Kekesalan yang menggelayutinya terasa menyedihkan, dan itu membuatnya benci pada diri sendiri. "Bukan …." Dia mengepalkan tangan. "Bukan begitu," suaranya menjadi lebih tegas. Kemudian, dia berteriak lebih kencang lagi, "Aku bukanlah barang yang sudah tidak berguna!"
Mengangkat kepala kembali, atma gadis itu dengan berani menatap Gemintang penuh kedengkian. “Kalian, manusia, selalu saja berucap dan bertingkah sesuka sendiri!"
Mengetahui Gemintang agak menunduk—tetapi jelas-jelas itu bukan rasa bersalah dan justru sebaliknya, atma gadis itu dibuat makin membara. "Memangnya aku ini apa, bagimu? Hah? Hanya serpihan debu yang akan langsung di terpa angin, begitu?"
“Emang iya,” kata Gemintang singkat.
Seketika, atma itu tersentak.
Perlahan, Gemintang mengangkat kepala kembali. Menatap atma itu dengan tatapan yang jauh lebih pekat, berisi tekad yang tak akan pernah luntur sedikit pun. "Baguslah kalo lu sadar diri."
"Kau—"
“Tapi, kalo berada di sini ….” Gemintang berhasil menghentikan tepat sesaat sebelum atma itu mengamuk. “Gue mungkin emang gak bisa memberikan cinta sebanyak para pemilik barang, tapi seenggaknya, di sini gue bisa ngasih tempat singgah sementara buat barang bekas maupun atmanya.”
Atma gadis itu tertegun, kemudian tersentak saat Gemintang melangkah menjauh sambil tiba-tiba berkata dengan sangat enteng, “Yah … kalo lu masih pengen balas dendam ke pemilik lawas, gue bisa biarin sih.”