Rama tersenyum, tetapi senyuman itu palsu yang justru membuat Gemintang menutup matanya beberapa detik. “Mereka nggak bakal balik.”
Gemintang menatap Rama. “Ta—“
“Nggak akan balik,” ucap Rama pelan, dengan tatapannya yang tajam.
Gemintang terus berdoa, agar dirinya selamat dari amukan Rama.
Tuhan, tolong sadarkan Kak Rama! Gemintang terus melafalkan doa.
“Mereka akan balik, Kak. Gue yakin,” kata Gemintang menyakinkan Rama.
“Yakin?” tantang Rama tak lepas dari ekspresi yang membuat Gemintang ngeri.
“Ya—“
“Kapan?” potong Rama.
Gemintang menunduk, kepalanya terasa berat. Sebentar lagi air matanya akan turun.
“Cengeng banget lu!” ledek Rama.
Dan benar sudah, Gemintang menangis.
“Bisa sekarang nggak?” desak Rama, yang tak perduli, meski sedikit terhanyut ketika melihat wajah cantik Gemintang ketakutan, hingga sekarang menangis.
Gemintang menunduk lagi, sekarang terdengar sudah isakan tangisnya.
“Dari awal lu emang selalu nyusahin, ya.”
“Gue minta maaf Kak—“
“Nggak berguna sekarang, lu kayak pencitraan ya? Atau emang mau hancurin toko? Atau hilangin para A—“
“Stop, Kak!” jerit Gemintang.
“Kenapa?” tanya Rama tak mau kalah.
“Yang pertama gue nggak pencitraan!” ungkap Gemintang.
“Terus apa? Buat masalah kalo gitu.”
“Kak!” resah Gemintang. Tak tau bagaimana caranya menjelaskan pada orang yang tak mau mengerti, seperti Rama.
“Apa?” sahut Rama, “kenapa diam.”
“Gue minta maaf... dan gue tau,” lirih Gemintang, “permintaan maaf nggak bakal balikin Atma.”
“Lu nggak perlu minta maaf.”
Gemintang menggeleng.