"Bi."
Gemintang tersentak. Dia memandang atas, langit terasa berbeda, entah mengapa. Padahal, warna biru itu terlihat seperti hari biasa, dihias oleh gumpalan awan seolah membentuk lukisan abstrak. Cahaya yang menyentuh juga hangat dan sangat lembut. Semilir angin tipis, membuat surai gadis itu berayun.
Jembatan kayu tempatnya berdiri bukanlah bangunan yang aneh, menjorok seperti lidah di tepi lautan. Berdiri di atas pasir putih, dikelilingi air biru kehijauan yang memamerkan terumbu karang. Namun, hal wajar itu, entah mengapa juga terasa sedikit asing. Aneh.
Gadis itu kemudian memandang depan, di ujung jembatan kayu, seorang anak lelaki berdiri membelakanginya. Berselang sebentar, seiring tatapan Gemintang padanya kian lekat, dia berbalik.
Senyuman yang merekah lebar di wajah bulatnya, menjadi satu hal yang akhirnya terasa sepenuhnya familiar bagi Gemintang.
“Bi, sekali lagi, terima kasih, ya … karena kerap menemaiku bermain di toko.”
Gadis itu tak bisa berkata-kata. Sekadar memandangnya dengan mata berkaca. Aneh sekali. Satu pun kata tak bisa keluar, padahal ada banyak hal yang ingin dia sampaikan dan ceritakan padanya.
“Bi, aku tak ingin mengucapkan perpisahan. Pasalnya …,” anak lelaki itu tersenyum makin lebar, dia manis sekali, sama sekali tak berubah semenjak Gemintang terakhir kali melihatnya, “aku tak sabar untuk bertemu denganmu lagi.”
Tiba-tiba, Gemintang membuka mata. Dia tersadar dari pingsan. "Daluang …." Membeku sesaat, gadis itu kemudian menghela napas panjang. Entah apa yang dilihatnya barusan, dia selalu saja terlalu membawa perasaan bila berurusan dengan anak lelaki tersebut.
Perlahan, Gemintang mengamati sekitar. Langit-langit putih ruangan terasa asing. Sepetak ruangan dengan satu ranjang, meja kecil, dan beberapa kursi ini secara sederhana menyerupai kamar kost, tetapi tentu saja bukan. “Rumah sakit, ya ….”
“Bentar ….”
Sayup-sayup suara dari depan ruangan, mengalihkan perhatian Gemintang. Tatapannya spontan bergeser ke arah pintu abu-abu dengan kaca kecil berbentuk persegi panjang vertikal di bagian atas. Sedikit memperlihatkan keadaan lorong, tetapi tak cukup untuk mengetahui siapa gerangan di sana.
“Enggak, lu pulang aja. Gue rasa, Bintang gak bakal senang ngelihat lu.” Adimas berdiri menyandar dinding, memandang Rama yang berdiri agak di tengah lorong. Beberapa plaster tertempel dahi dan lengan mereka, sebagian kulit juga terlihat memar.