"Rama!"
Lari pemuda itu seketika terhenti, membuat tubuhnya cukup tersentak. Dia kemudian mengamati sekitar, mencari-cari sumber suara yang memanggilnya. Dengan cepat, Rama menemukan seorang bocah lelaki kecil dengan wajah jahil menyebalkan. “Hei, lu! Ini bukan petak umpet, tahu! Buruan balik ke toko!”
Bocah lelaki itu menggerutu tak terima. Meski wajah garang Rama sama sekali tak membuatnya takut, tetapi dia tetap menurut. Meninggalkan gazebo pinggir jalan tempatnya bersembunyi sambil mengerucutkan bibir, lalu berjalan menuju Singgah Lima Menit.
“Aku …." Satu atma gadis menghampiri Rama dari belakang, dia agaknya juga tak berani untuk terlalu dekat. "Aku akan membantu mengumpulkan para atma.” Huta tetap berdiri di sana, tak mundur sama sekali, walau pemuda di depannya itu memancarkan aura pekat nan mengerikan.
Rama melirik tajam gadis itu, terdiam sejenak untuk menimbang-nimbang. “Gue pegang ucapan lu.”
Huta agak tersentak lantaran ngeri, kemudian buru-buru mengangguk.
Di ambang pintu toko, tak jauh dari Rama, Gana yang masih agak pucat, hendak menyusulnya. “Aku juga akan membantu—”
“Lu tetap di toko aja!” Rama berujar tegas, “Tangan lu belum sembuh, ‘kan?”
Gana tersentak, ucapan Rama benar. Efek trisula portal memang bukan hanya membuat nyeri, tetapi juga meninggalkan bekas yang akan masih terasa sakit setidaknya sampai sehari semalam penuh.
Rama berujar lirih, tetapi justru makin garang, “Jangan bikin gue tambah repot.”
Seketika, Gana terdiam.
Rama kembali menyusuri sekitar toko, mencari-cari para atma. Dia memberi perintah pada Huta untuk memeriksa di sebelah sana, sedangkan dirinya akan mengatasi sisi lain. "Jangan jauh-jauh! Kalo udah ngerasa gak enak, buruan balik ke toko!"
Tanpa menunggu respons Huta, Rama melesat lebih jauh. Berselang sebentar, dia sudah kembali sambil mendorong agak kasar beberapa atma memasuki toko. "Dibilang gak boleh, ya gak boleh! Masuk! Buruan!"
Huta datang tak lama setelahnya, menyeret satu atma lelaki dengan susah payah. "Kurasa … ini yang terakhir …." Dia mengerang, mengerahkan lebih banyak tenaga. Namun, sejurus kemudian, sesuai dugaan, Huta memang kewalahan dan atma itu berhasil lolos.
Huta terkesiap bukan main. “Tidak—”
Hanya dalam sepersekian detik, lengan atma itu telah ditahan kembali, tetapi kali ini oleh Rama dan dengan jauh lebih kuat. Senyuman merekah lebar di paras pemuda itu, sayangnya itu justru membuatnya makin mengerikan. "Mau ke mana lu? Jangan berani-berani bikin kerjaan gue nambah! Asal lu tahu, mood gue ancur banget, lho, ini! Masih mau lu perparah?"
Atma lelaki itu terpaksa terdiam. Tenaga yang dikerahkan untuk melawan menurun drastis, tetapi dia masih belum terlihat hendak sepenuhnya menurut dengan Rama. Dia tampak sangat kesal. Namun, di samping itu, garis wajahnya juga menyiratkan beban berat yang melelahkan. Seakan-akan, dia memelas dan memohon.
Sesaat, Rama dibuat tak bisa berkata—dan dia sangat benci untuk mengakuinya bahwa dirinya mulai memikirkan perasaan atma alih-alih sekadar memaksa mereka tunduk. Pemuda itu kemudian berdecak kesal. Ada-ada saja lagi.
Huta memandang keduanya bergantian. Dia kurang lebih memahami beban yang dipikul Rama, dan perasaan si atma lelaki juga bukan sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja.
Gadis itu kemudian mendekat pada si atma lelaki. "Lagi pula, mengapa kau masih ingin pergi? Bi sudah mengatakannya, bukan? Mau tak mau, kita harus mengakui bahwa barang bekas memanglah telah terbuang dari dunia luar … dan kita benar-benar tak memiliki kekuatan untuk kembali."
Atma lelaki itu terlihat makin marah, tetapi anehnya tatapannya justru kian sendu.
Huta melanjutkan dengan lebih lembut, "Namun, dengan berada di Singgah Lima Menit, setidaknya kita bisa bertemu banyak orang baik dan menunggu seseorang datang untuk menjadi pemilik baru kita.” Gadis itu tersenyum sambil mengulurkan tangan. “Aku juga akan menemanimu. Bagaimana?"