Senin pagi, Rama berangkat ke rumah sakit untuk menjenguk Gemintang, yang pastinya ditemani oleh Huta. Awalnya tak berniat, namun sekali lagi Huta menyakinkan bahwa Rama harus minta maaf langsung dengan orangnya, meski nantinya akan bertemu dengan Adimas.
Setibanya di rumah sakit, Rama menahan Huta yang sangat buru-buru mendekati pintu kamar inap Gemintang. Enak saja, Rama marah pada Huta yang dinilainya pecicilan jika menyangkut Gemintang.
Kemudian, Rama mengintip di balik pintu yang sedikit terbuka. Tidak hanya Adimas, ada Kiya juga Rana di dalam.
“Lu boleh masuk, asal jangan buat masalah!” ancam Rama melirik Huta.
“Siapa juga yang ingin membuat masalah.”
“Lu kan suka berulah,” sahut Rama.
“Tidak akan, janji. Demi Bi.”
“Sana masuk!” suruh Rama dengan ketus.
“Rama duluan saja,” balas Huta.
Rama berdecak, “Awas.” Rama menyeggol.
Pintu terbuka lebar, seisi ruangan menoleh, tampak Rama dengan penampilannya yang selalu membuat Rana dan Kiya terpaku, tak terkecuali Gemintang. Rambut gondrongnya dibiarkan terurai, celana jeans robek-robek, kemeja dengan kaos hitam di dalam. Terpesona gak tuh. Sepertinya Rama memang menyukai style yang urakan, namun telaten dan menyihir, juga kece.
Rasanya keluh untuk menyapa, senyum tipis Rama membuat Gemintang membeku. Di sisi lain Adimas jadi salah tingkah, tangannya yang sedari tadi digenggam oleh Gemintang, namun pandangan cewek itu terkunci pada Rama. Sial.
Ngalah mulu gue! Lirih Adimas melepaskan tangannya, tetap saja Gemintang tak sadar.
Gemintang kaget ketika Rama datang dan tidak sendiri. “Hai.”
“Lemah!” ejek Rama tertawa.
Kiya maupun Rana terpana lagi-lagi, senyum Rama selalu menawan.
“Gara-gara lu!” tekan Adimas.
“Dianya aja yang lebay!” timpal Rama mengusap rambutnya kebelakang.
Huhuhu, tolong Gemintang.
“Lu—“ geram Adimas.
“Kak...,” tegur Gemintang menatap Adimas lembut agar tak sampai meladeni Rama.
Senyum Gemintang tak luntur, keberadaan Huta begitu membuatnya semangat. Terlebih bahagia ketika Huta mendekat, beda dengan Adimas yang cemberut. Sebelumnya Gemintang tak pernah sebahagia ini, namun ketika Rama yang datang Gemintang justru berseri-seri.
“Udah sembuh.”
“Anak orang jantungan gegara lu!” celetuk Adimas.
“Emang iya lu—“
“Syok ringan Kak,” sambung Gemintang, sejak kejadian itu. Adimas terang-terangan membela Gemintang, bahkan sangat posesif. Gemintang jadi bingung memaknai perlakuan Adimas padanya.
Bi, nggak selalu perhatian seseorang jadi tolak ukur karena suka, tapi emang karena dia baik aja! Peringat Gemintang.
“Kalian bisa keluar nggak? Gue perlu bicara sama Gemintang,” pinta Rama.
“Ngomong aja kali,” kilah Adimas.
“Nggak bisa!” tegas Rama.
“Kenapa sih?” tangkas Adimas.
“Pengennya berdua.”
Adimas bersamaan dengan Gemintang melototi Rama, lain dengan Kiya dan Rana yang bapernya minta ampun. Tak percaya Rama akan bicara seperti itu.
Gaya banget nih anak, maksudnya apa coba? gerutu Adimas.
“Lu berdua bisa kan?” tanya Rama kemudian pada Kiya dan Rana yang sedari tadi melamun dan terus menatapnya. Kan risih.
“Eh, bisa-bisa kak,” gugup Rana.
“Kalo gitu kita berdua pamit ya Bi, Kak,” ucap Kiya diikuti oleh anggukan Rama, Adimas dan juga Gemintang.
“Bisa nggak? Gue pengen berdua aja nih,” tutur Rama.
“Nggak usah macem-macem lu!” pesan Adimas.
“Satu macem doang!” sanggah Rama. Sebaliknya Adimas menoyor pelan kepala Rama.
Keduanya tertawa ringan.
Gemintang tersihir, mulutnya terbuka sedikit saking senangnya melihat Rama bisa hangat begitu dengan Adimas.
“Jalan keluarnya di sana Kak!” tunjuk Rama.
“Nggak usah aneh-aneh,” peringat Adimas mengancam.
“Iya, bandel banget sih dibilangin.”
Demi Gemintang, Adimas pun menurut. Rama tertawa yang mengandung ledekan, Huta pun ikut tertawa, dan tanpa sadar menggelitik Adimas, Adimas tersentak dan itu membuat Gemintang menutup wajahnya agar tak terlihat menertawakan. Dasar Huta. Adimas jelas bertanya, ada apa dengan dirinya barusan.
Kok ada yang gelitik gue! Adimas bertanya-tanya, seketika perasaannya mulai tak enak. Setelah pamit, ia segera keluar, takut semakin banyak yang menggelitik.
“Hahahah, parah lu.” Rama terbahak saat Adimas sudah tidak ada lagi dalam kamar.
“Soalnya Adimas begitu bandel,” balas Huta nyengir.
“Huta jangan diulangi,” ujar Gemintang, “Kak Adimas udah baik banget sama gue. Dijagain juga.”
“Jadi lu bangga dijagain sama dia,” cibir Rama.
“Nggak bangga Kak, gue cuma bilang dia baik banget.”
“Cih, ngelak lagi.”
“Ada Kiya juga sama Rana,” terang Gemintang.
“Tapi intinya lu dijagain sama dia, dan lu seneng,” cetus Rama.
“Rama kenapa ih, sensi banget, kalau cemburu bilang!” seru Huta berhasil membungkam Rama, Gemintang turut diam mendengarkan perkataan Huta.
Sial, sial, sial. Huta sialan! Geram Rama.
Pandangan Rama terkunci pada bola mata cantik milik Gemintang.
Gue cemburu? Ya enggaklah! Rama tak terima atas tuduhan Huta.
“Lu nggak usah sok tau!” tegas Rama.
“Susah—“