Udara di kamar kost yang familiar, terasa sedikit aneh. Mungkin karena Gemintang menghabiskan banyak waktu di rumah sakit dan telah membiasakan diri dengan tempat tersebut. Selimut dan sprei ranjang yang menyentuh punggungnya saat gadis itu rebahan sekarang, juga lebih dingin daripada biasa.
Adimas baru saja mengantarnya pulang dari rumah sakit sore tadi. Sekarang sudah pukul tujuh, kaca jendela di balik gorden telah gelap. Gemintang memang berencana menghadiri perkuliahan besok, tetapi seperti malam ini dia akan beristirahat lebih lama dan menunda belajar.
Dering singkat di ponsel, merebut perhatian dari Gemintang. Satu pesan dari Rama.
Gue di depan kost lu. Lu yang ke sini atau gue yang ke kamar lu sekarang?
Sebelah alis Gemintang berkedut. Dia benar-benar tak paham isi pikiran pemuda itu, tetapi yang paling penting, klausa terakhir dari kalimatnya sungguh terdengar seperti ancaman.
Gemintang menggeleng-geleng. Heran pada diri sendiri, mengapa siang tadi, saat pemuda itu menjenguknya, dia bisa terbawa perasaan, padahal Rama adalah seseorang yang seperti ini; menyebalkan, kasar, pemarah.
Terpaksa, Gemintang meninggalkan kamar sambil mengenakan jaket dan berjalan menuju gerbang kost. Dari kejauhan, dia melihat Rama yang berdiri menyandar dinding pagar, menghadap jalanan.
“Ada apa sih? Kita baru aja ketemu siang tadi? Kenapa Kak Rama datang lagi?”
“Gue sih ogah ngelihat wajah lu lagi,” kata-kata itu tentu sangat berbanding terbalik dengan isi hati Rama, “tapi dia maksa.” Dia menggeser posisi tubuh guna menghadap Gemintang sempurna, kemudian menunjuk belakang menggunakan jempol.
Satu atma muncul dari belakang pemuda itu. “Bi ….”
“Huta? Ada apa? Gue udah janji, kita bisa ngobrol di toko, ‘kan? Gue bakal ada jadwal jaga gak lama setelah ini, kok.” Sebelum sempat mendengar respons atma itu, Gemintang agak tertegun dan spontan menatap Rama begitu terpikir sesuatu. “Kak Rama tadi … waktu di rumah sakit, Huta gak apa-apa datang ke sana? Gue rasa, rumah sakit itu lumayan jauh dari toko.”
“Gak usah khawatir.” Rama melemparkan rendah sebuah slot grendel sederhana di tangan, beberapa kali. “Barang bekas dari atma ini gede banget—kandang kucing aluminium empat tingkat. Jadi, gue bongkar dikit biar ada yang bisa dibawa.” Rama lantas menangkap benda itu dengan genggaman, kemudian menunjukkannya lagi sambil digerakkan ke kanan-kiri. “Selama ini masih berada di dekatnya, dia gak bakal kenapa-napa.”
Gemintang bergumam kagum. “Ternyata bisa gitu juga ….”
“Buat jaga-jaga, gue bawa ke sini juga sekalian.”
Gemintang mengangguk-angguk sesaat. Setuju, tetapi agaknya dia terpikir hal lain. “Yah, sebenarnya lu gak perlu bawa itu, bukan masalah, Kak Rama. Gana udah pernah ke sini sendirian dan dia bilang tempat ini gak terlalu jauh dari toko, jadi aman-aman aja..”