Gemintang membuka kembali pesan terbaru dari Pak Darman, membaca sekilas dalam hati. Kemudian, dia menghela napas. “Padahal gue yakin beliau pasti tahu kalo gue udah pulang dari rumah sakit sejak beberapa hari lalu, kenapa juga baru diminta jagain toko sekarang? Ngabisin waktu tanpa atma itu bosenin, tahu.”
Menyimpan ponsel kembali, Gemintang lalu membuka pintu tepat di sebelah plang Singgah Lima Menit. Belum sempat mengucap salam, perhatiannya langsung direbut oleh Rama di belakang meja kasir yang tiba-tiba beranjak dari tempat duduk, “Gue ada urusan. Lu jagain toko sendirian bentar.”
Gemintang mengangguk dengan enteng-enteng saja. Berdiam diri di ambang pintu dengan tatapan terkunci pada si pemuda yang berjalan dari ujung ruang hingga kemudian berlalu di sebelahnya dan meninggalkan toko.
Menutup pintu kembali, Gemintang kemudian memasuki toko lebih jauh sambil menoleh kanan-kiri, mengamati para atma yang telah banyak bermunculan. Dia sudah mulai menghafal banyak wajah mereka, tetapi saat ini, gadis itu menemukan salah satu yang cukup asing.
Gemintang memang sudah pernah melihat atma itu sebelumnya, tetapi baru dua tiga kali. Dia berupa gadis usia dua puluh tiga tahun, cantik dengan rambut panjang dihias jepitan kecil, serta gaun putih dengan sedikit sentuhan biru laut yang anggun. Gemintang bahkan terpesona olehnya.
Dengan cepat Gemintang dapat mengetahui, gadis cantik itu merupakan atma dari sebuah mainan berbentuk ikan lumba-lumba—yang memang dipoles dengan sangat indah—beserta akuarium palsu tanpa air yang juga sangat elok.
Gadis itu agaknya menyadari tatapan Gemintang, kemudian menoleh dan memasang senyuman. “Oh, Bi ….”
Gemintang mengangguk kecil, membalas sapaan. Sudut bibirnya ikut terangkat selagi dia melangkah mendekat. “Sebelumnya, gue boleh manggil gimana, ya?”
Senyuman gadis itu merekah kian lebar, benar-benar anggun dan menghipnotis tiap mata memandang. “Kurasa Bi sangat pandai memberi nama untuk para atma, silakan pilihkan.”
Gemintang senang mendengarnya. Dia langsung terpikir sesuatu. “Kalau gitu … Dalfin, yang berarti lumba-lumba.” Dia sesaat menatap rak tepat di sebelah gadis itu, di mana terdapat barang bekas darinya, kemudian menatap atma tersebut kembali. “Cocok banget, ‘kan?”
Gadis itu berbinar. “Luar biasa … aku sangat menyukainya, Bi.”
Gemintang tersanjung, lebih lagi itu pujian dari seorang gadis rupawan bak putri, dia bahkan tak heran bila dengan cepat akan merasa kagum dengannya. Sesaat kemudian, Gemintang menyadari sesuatu. “Oh, ya, Dalfin kenapa jarang muncul? Apa … gak terlalu suka keramaian?” Pasalnya, atma di toko memang cukup banyak dan tingkah mereka kerap membuat ricuh.
Gadis itu terkekeh. “Sama sekali tidak, kok.”
Bak momentum yang tepat, Gana tiba-tiba berlari menghampiri mereka berdua. “Bi, kau tahu, ada tiga kupu-kupu masuk ke toko. Aku menangkapnya dengan hati-hati dan memasukkannya ke toples. Cantik, bukan?” Atma remaja lelaki itu tampak sangat senang.
Dalfin ikut menatap Gana, lalu tertawa kecil. “Justru, aku sangat menyukai mereka.”
Gana kemudian menoleh ke atma gadis tersebut, menorehkan perhatian padanya. “Sekarang … kau dipanggil Dalfin, ya?” Dia menunjukkan toples berisi kupu-kupu itu lebih dekat. “Bagaimana, Dalfin? Cantik, bukan? Mungkin mereka bisa menjadi sainganmu, lho.”
Dalfin tertawa kecil lagi, sangat nyaman didengar. “Agaknya mereka memang cantik, ya.”
“Dalfin, tuh,” Gemintang tersenyum, “kayaknya akrab sama semua atma, ya?”
“Tentu saja!” Gana langsung semangat. “Dalfin adalah gadis yang sangat baik hati. Tak ada satu atma pun yang enggan untuk berada di dekatnya.” Dia kemudian teringat sesuatu. “Oh … dan Dalfin tahu banyak hal.”
Gemintang langsung menatap gadis itu kagum. “Sungguh?”
Dalfin tersenyum. “Kalau tak keberatan, maukah kau berkeliling toko bersamaku?”
Seketika, Gemintang sumringah. Lantas mengangguk semangat.
Dalfin lebih tinggi daripada Gemintang. Berdiri di belakangnya, membuat mahasiswi itu merasa aman. Lalu, anehnya, walau menyadari bahwa Dalfin jauh lebih cantik darinya, aura atma tersebut sangat bersahabat sehingga tak membuat Gemintang minder sama sekali, dia justru sangat senang untuk berada di dekat Dalfin.
“Atma dari sepetak ubin di atas kendali portal, kau ingat?” Dalfin berhenti tepat di tengah toko.
“Aras?”
Dalfin mengangguk. “Tentang gadis itu …,” dia tersenyum tipis, “aku terkejut karena kau tak bertanya-tanya ke mana perginya.”
Gemintang menjadi agak mematung, mengingat-ingat kembali tiap kesempatan menjaga toko di malam hari. Dia lantas bergumam panjang. “Rasanya … gue emang jarang lihat Aras sih.”
“Aras sesungguhnya adalah atma pemalu, lho.”
Seketika, bola mata Gemintang agak melebar.
“Itulah mengapa dia jarang muncul. Bahkan saat diminta untuk membukakan sepetak ubin lantai, dia langsung melakukannya tanpa memunculkan wujud, ‘kan?”
Dengan cepat, kenangan tiap kali berurusan dengan portal toko, melintas di pikiran Gemintang. Dia tertawa kecil lantaran baru menyadari hal itu usai Dalfin mengatakannya. Dia lantas bergumam singkat, mengiyakan sebagai respons.
“Selain itu, Bi ….” Dalfin kembali melangkah lebih jauh, dengan Gemintang yang berlari kecil sesaat untuk mengejarnya. Gadis itu kemudian berhenti di balik meja kasir. “Ketika Rama pergi, kau tak penasaran apa yang dia lakukan?”
Gemintang langsung cemberut. “Gue gak tertarik ngurusin kehidupan cowok ketus ngeselin itu.”