Singgah Lima Menit

Lisa
Chapter #26

Senyuman Paling Berharga

Rama memasuki kelas ogah-ogahan. Ruangan sudah nyaris penuh dan ramai oleh sekian mahasiswa yang asik mengobrol sendiri. Pemuda itu kemudian asal meletakkan tas di atas meja dan duduk sambil sibuk bermain ponsel. Dia tak pernah menyukai mata kuliah Bahasa Indonesia semester ini, lebih lagi sekarang, karena keberadaan Adimas yang bersamaan dengan Gemintang.

Getaran singkat di ponsel sekaligus notifikasi dari kontak tak biasa, merebut perhatian Rama. Pak Adi menghubunginya.

Saya sedang ada penelitian di luar kampus selama beberapa hari ke depan, tidak bisa mengajar dulu. Adimas juga ikut buat bantuin saya. Jadi, Rama, tolong sampaikan ke kelas, ya tugas-tugasnya, saya lampirkan di email.

Rama terkejut, kemudian spontan menoleh. Jarak dua bangku darinya, ternyata kosong. Dia terlalu mengabaikan sekitar hingga baru sadar bahwa Adimas tak menghadiri kelas hari ini.

Mengangkat alis enteng, Rama kemudian asal bangkit dari kursi. “Semuanya, dengerin! Gue ada pesan dari Pak Adi ….”

Rama menuju depan kelas, menjelaskan perlahan-lahan, kemudian menjawab beberapa pertanyaan dari beberapa mahasiswa. Merasa sudah cukup, dia lantas mengakhiri dan kembali beranjak menuju kursinya.

Keluhan hampir seluruh mahasiswa di kelas terdengar, membuat Rama harus susah payah untuk menahan marah dan bertahan untuk tak menggubris mereka. Dia menghela napas sambil menyandar kursi. Lantas entah mengapa, dia perlahan menoleh pada seseorang di sebelah.

Gemintang dengan semangat memeriksa tugas, membaca teliti perintah-perintah yang tertulis dan memikirkan kira-kira apa yang dibutuhkan sebagai referensi. Kemudian, merasakan sesuatu, dia spontan menoleh. Mendapati pemuda di sebelah yang masih menatapnya.

"Kak Rama," Gemintang menyapa sambil tersenyum.

"Kok …." Rama tertegun. Dia masih mengingat jelas bila kemarin Huta melaporkan bahwa Gemintang menangis. Mengapa tiba-tiba gadis itu sekarang bisa memasang wajah seperti itu? "Lu—"

Gemintang kemudian tertawa kecil dengan canggung, agaknya memahami apa yang dipikirkan Rama. Toh, kemarin ketika meninggalkan toko, dia pasti terlihat jelas bila murung. "Gak usah khawatir, gue gak apa-apa, kok."

Gemintang melanjutkan, "Semalam, gue mimpi ketemu Daluang. Dia bilang ke gue biar gak murung, karena itu cuma bikin dia sedih. Lagain, Daluang ternyata gak marah atau pun nyalahin gue sama sekali. Dia justru seneng banget karena sempet ketemu gue dan …," suaranya menjadi terdengar lembut, "Daluang pengen seterusnya gue tetap ceria."

Sudut bibir Gemintang merekah lebar, menjadikannya berseri-seri. Itu senyuman langka miliknya, yang tak bisa sembarangan muncul. Hanya di saat-saat tertentu, ketika dia benar-benar merasa senang atau berhadapan dengan seseorang yang sangat berharga baginya.

Dalam hati, Rama mengakui, gadis itu sangat cantik.

Gemintang tertawa kecil. "Alih-alih nangisin Daluang yang menghilang, gue pengen tersenyum terus buat dia."

Rama tertegun. Berselang sebentar, dia menjadi ikut semangat. Wajah yang semula datar dan membosankan itu, seketika kembali terlihat garang dan menyebalkan, khas pemuda itu. “Gue pegang ucapan lu!” Dia lantas mengalihkan pandangan menuju meja sendiri. “Jangan sampai lu nangis di depan gue lagi.”

Senyuman Gemintang berubah, merasa tertantang, lebih lagi oleh seseorang Rama. Namun, sejurus kemudian, dia menyadari sesuatu. Kalimat terakhir pemuda tersebut, terdengar aneh.

Gemintang buru-buru menatap buku di mejanya, dengan fokus buyar, meski matanya agak terbelalak. Aneh. Rasanya, dia berada di kamar kost sendirian dan tak ada seorang pun di sekitar, ketika menangis kemarin malam. Lalu, mengapa Rama berkata seolah pemuda itu—

“Kak Rama! Ini deadline-nya masih lama, ‘kan?” seru salah satu mahasiswa lelaki di kelas, membuat lamunan Gemintang buyar.

“Semua tugas itu,” Rama berkata santai sambil setengah menoleh belakang, menatapnya, “deadline-nya besok.”

Dalam seper sekian detik, seisi kelas langsung panik.

Begitu pun Gemintang, bergegas membolak-balik buku catatan maupun referensi, lantas mengetik jawaban tugas di laptop. Dia tak boleh terlena atau akan kehilangan detik-detik berharga.

Sayangnya, seperti dugaan Gemintang, tugas ini memang terlalu banyak. Dalam hitungan menit, dia sangat kelelahan, lebih lagi gadis itu berusaha mengerjakan lebih cepat daripada biasanya, agar selesai tepat waktu.

Gemintang kemudian membuka aplikasi sosial media di ponsel, berniat istirahat sebentar. Namun, pembicaraan beberapa mahasiswa agak jauh darinya, merebut perhatian. Mereka merencanakan untuk bekerja sama dan membagi tugas agar terasa lebih enteng dan cepat selesai.

Gemintang merasa itu bukan ide buruk. Lagi pula, tugas ini terlalu tak masuk akal untuk bisa diselesaikan sendirian dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Rekan terbaik untuk diajak bekerja sama adalah seseorang di sebelah—Rama cukup pintar dan bisa bekerja dengan cepat. Namun, Gemintang justru merasa mulas tiap kali hendak buka suara, dia sangat tak siap untuk mengajaknya bicara.

Gemintang meletakkan dagu pada lengan yang terlipat di meja, melirik Rama dengan sangat sedikit. Raut gadis itu saat ini pasti juga tidak karuan sama sekali lantaran perasaan dan pikiran sedang bergejolak bukan main. Bila saja ada Adimas, Gemintang sudah pasti akan dengan senang hati meminta bantuannya.

Gadis itu sudah hendak buka suara untuk sekian kali, saat Rama tiba-tiba menatapnya lekat. “Kenapa lu lihatin gue kayak gitu?”

Lihat selengkapnya