Gemintang berdiri di depan para atma yang berkumpul—dia sempat terkejut karena tak menyangka bahwa jumlah mereka ternyata lebih banyak daripada perkiraan, “Siapa yang mau jalan-jalan? Angkat tangan!”
Seketika, seluruh atma kompak berteriak sambil mengangkat tangan.
Rama langsung protes, “Tugas elu belum kelar, dasar!”
“Kak Rama aja yang ngerjain! Nanti gue tinggal nyalin.” Gemintang sedikit menggeser posisi tubuh, menatap pemuda itu, sambil meletakkan tangan di pinggang. “Lagian, bagian gue tadi banyak banget. Kalo gini, jadi impas, ‘kan?”
Rama terkesiap, lantas langsung bersungut-sungut. “Lu ke sini cuma mau ketemu atma doang, ya ternyata!”
Gemintang tak menggubris, dia kembali menatap para atma seolah tak terjadi apa pun. “Tapi … gue gak sanggup kalo harus bawa kalian semua. Gue pilih tiga aja, gimana?”
Mereka saling menatap dengan atma di masing-masing sampingnya, kemudian memandang Gemintang kembali sambil mengangguk.
“Kalo gitu …,” Gemintang bersemangat. “Gana, Huta, Aras!”
“Aras?” Tak sedikit yang terkejut.
Gana mengerutkan alis, “Kurasa Aras tak mengangkat tangan.”
Gemintang mengangguk mantap. “Emang. Tapi, walau begitu, gue yakin Aras sebenarnya pengen jalan-jalan. Iya ‘kan?” Gadis itu menggeser pandangan dengan tatapan tak sepenuhnya fokus. “Muncul sini, Aras.”
Aura para atma di toko yang sudah cukup kuat—untuk ukuran makhluk dengan hawa keberadaan tipis, tiba-tiba makin bertambah. Satu lagi muncul di depan mereka, tepat berhadapan dengan Gemintang.
Aras agak menunduk malu-malu, lalu mengangguk kecil. Seketika, dia membuat hampir seluruh atma bergumam kencang, terkejut.
Gemintang sangat senang melihatnya. “Jadi, udah pas tiga, ya!” Dia lantas menatap pemuda agak di belakangnya, yang sejak tadi melemparkan tatapan sinis. “Kak Rama, gue boleh ajakin mereka bertiga keluar dari toko, ‘kan?”
“Gak boleh!”
Meski begitu, Gemintang tak peduli. Dia tetap beranjak menuju bagian tengah toko, meminta Aras membuka sepetak ubin lantai, kemudian dia menarik bagian kayu berbentuk garis.
Sepanjang dinding ruang menyala oleh cahaya merah, sedemikian rupa membentuk deretan perisai dengan trisula di dalamnya. Lantas meredup dan seakan-akan luntur.
“Ayo, ayo, ayo!” Gemintang sesaat mendorong Gana pelan, dia melangkah meninggalkan tempat ini sambil membawa tiga barang bekas—celengan tanah liat berbentuk panda merah, salah satu slot gerendel kandang kucing aluminium, dan potongan kecil dari sepetak ubin lantai. Usai melewati pintu, dia menyempatkan diri untuk berbalik, “Kak Rama! Tolong tutupin portalnya lagi, ya!”
“Ogah!” Rama berteriak kencang dengan ketus.
Gemintang justru tertawa, sambil mengangguk kecil sebagai ucapan salam, lalu menutup pintu dan beranjak pergi. Meski berkata begitu, dia tahu Rama pasti akan tetap menutup portal untuknya.
Usai beberapa langkah meninggalkan Singgah Lima Menit dan baru saja hendak mengobrol dengan ketiga atma, dia dikejutkan bukan main oleh suara Rama yang terdengar sangat jelas, “Gemintang!”
Gadis itu terperanjat. Dia bisa merasakan jelas bahwa Rama tiba-tiba sudah berada di belakangnya.
Dilanda ngeri, dia memberanikan diri menatap belakang perlahan. “Kak Rama ….” Gemintang sangat takut bila Rama sungguh marah dan serius tak mengizinkannya, sedangkan gadis justru dengan lancang bercanda sesuka hati.
Namun, ternyata, Rama justru menyodorkan jaket miliknya.
Gemintang seketika menjadi lebih tenang, tetapi dia ganti kebingungan.
“Pake ini. Di luar dingin banget.” Rama berjalan mendekat, kemudian asal melemparkan jaket itu sehingga menutupi kepala Gemintang. Lantas kembali menuju toko begitu saja.
Sementara gadis yang ditinggalkannya, mematung.
Gana menunggu beberapa detik, tetapi manusia di depannya itu masih tak bergerak sama sekali. “Bi?”
Di balik jaket milik Rama yang masih menutupi kepala dan wajahnya itu, pipi Gemintang merona. Ini tak ada bedanya dengan jaket punyanya sendiri maupun jaket yang dijual toko. Dia sangat tahu itu, tetapi, mengapa jantungnya berdetak kencang sangat ini? Sungguh menyebalkan!
“Bi, kau tak enak badan? Lebih baik jangan memaksa diri.” Huta tampak khawatir.
Gemintang tiba-tiba meraih jaket itu dan menarik ke bawah dengan kesal, menjauhkan darinya. Wajah gadis itu merah, tentu saja masih merona. Namun, karena raut kesalnya sangat kentara, itu menjadi terlihat seolah dia menahan amarah.
“Bi, ada apa?” Aras makin heran.