Sayangnya, Rama seperti orang tanpa arah tujuan. Alih-alih pulang ke rumah, dia malah tiba-tiba sudah memasuki area kampus. Sekeliling menjadi nyaris gelap saat malam hari. Beberapa mahasiswa memang masih ada di sini, tetapi itu tak membuat tempat ini jauh dari kata sepi.
Rama berhenti di lorong lantai pertama salah satu gedung, dan entah mengapa lampu di sana tidak menyala. Dia menyandar dinding, menutup wajahnya yang kacau menggunakan dua tangan.
Rama sama sekali tak baik-baik saja. Memori yang berusaha dilupakan dengan sekuat tenaga, tetapi hingga saat ini terus saja gagal, justru mendobrak keluar habis-habisan, memenuhi angan hingga ke detail-detail kecil sekali pun.
***
Flashback...
“Ayah!” Bocah lelaki berlari menyusul seorang pria. Senyuman lebarnya tampak sangat ceria, berpadu sempurna dengan mata bulat dengan tatapan murni yang indah. “Hari ini, Rama boleh ikut berjaga di toko lagi?”
Pria itu berbalik. “Tentu saja.”
Hari ini tepat ulang tahun kedelapan bocah itu, tetapi dia tak meminta perayaan atau apa pun, dia hanya ingin ikut menghabiskan malam di Singgah Lima Menit. “Oh, ya, Rama. Walau begitu, Ayah tetap pengen ngasih kamu hadiah ….”
Bocah itu mendongak, menatap Ayahnya dengan wajah yang seolah bertanya mengapa dia melakukan itu—sesuai dugaan pria tersebut.
Pria itu berjalan menuju mobil tak jauh mereka, membuka bagasi, lantas mengambil sebuah kotak selebar tiga puluh sentimeter dan memberikannya pada bocah tersebut. “Terimalah, Nak. Dia bisa menjadi teman selama kamu jagain toko.”
Semula, bocah itu berat hati untuk menerima, dia benar-benar tak ingin merepotkan ayahnya. Namun, begitu mendengar kata toko, seketika sebuah senyuman gembira merekah. “Terima kasih, Ayah! Rama bakal menjaganya!”
Suara knop berputar dan decit kayu khas pintu Singgah Lima Menit terbuka perlahan, selalu membuat bocah itu bersemangat. Ruang kosong yang entah mengapa sama sekali tidak terasa sepi tersebut, lebih disukai oleh Rama kecil daripada taman bermain.
Si pria telah memasuki toko lebih dulu, sedangkan Rama kecil masih berdiam diri di ambang pintu. Dia memegang erat kotak di depan tubuh mungilnya menggunakan dua tangan, sambil mengamati seisi ruang dengan mata berbinar.
Beberapa detik kemudian, bocah itu akhirnya melangkah juga, tanpa menyadari bahwa di saat bersamaan, sesuatu datang dari samping, lalu melesat dan melompat ke arahnya. “Rama!”
Bocah itu terperanjat. Mematung sesaat, kemudian menoleh perlahan. Dia sudah menebak hal ini dan mengetahui siapa gerangan pelakunya. “Kamu ngagetin.”
Atma berwujud anak lelaki seumuran Rama itu, tertawa jahil. “Ayo bermain petak umpet!”
“Tapi … hari ini aku bawa mainanku sendiri,” katanya, dan seketika membuat atma itu cemberut. Rama kecil tak suka mendapati dirinya membuat orang lain merasa buruk. Dia mencoba memikirkan sesuatu. “Mau main bareng?”
Langsung, atma mungil itu melonjak gembira. “Boleh!”
Kemudian, keduanya duduk di lantai. Kotak kosong terbuka tergeletak tak jauh dari mereka. Sementara di hadapan dua bocah itu terdapat sebuah akuarium palsu, tanpa air, tetapi dengan miniatur terumbu karang, diletakkan di kursi.
Si atma mungil memegang mainan ikan lumba-lumba, yang memang bisa dilepas pasang dari akuarium palsu itu. Sementara Rama kecil ikut menyentuhnya dengan jari telunjuk.
“Suara ikan lumba-lumba?”
Rama kecil mengangguk, lantas menoleh untuk membalas tatapan atma mungil itu. “Kamu tahu?” Dia tersenyum kecil, tetapi terkesan sangat sumringah. “Ini tebak-tebakan.”
Atma mungil itu berpikir sesaat sambil asal menggeser tatapan. Berselang sebentar, dia memandang Rama kecil sambil meraung-raung.
“Itu bukan suara ikan lumba-lumba.”
“Itu suaraku.”
Rama kecil terdiam sejenak memandangnya, lantas menghela napas singkat. “Aku tahu.”
Dentuman tiba-tiba menggema seisi ruang, menarik perhatian dua bocah itu seketika. Aura aneh khas atma yang sebelumnya hanya terasa tipis, kini menjadi sedikit lebih pekat. Mereka telah bermunculan sangat banyak dan dengan kasar berusaha mendobrak ruang.
Bunyi benda-benda bertubrukan, teriakan memekik para atma, kata-kata menjemukkan yang terus diulang tanpa henti. Semua menjadi satu, menghancurkan ruang yang tenang menjadi sangat mengusik.
Menghela tubuhnya dari tempat duduk, si pria kemudian melangkah dengan tenang. Perlahan, tetapi konstan, dia mendekat kepada gerombolan atma tak karuan tersebut. Lantas mengangkat tangan, pria itu menepuk pundak salah satu dari mereka.
Dengan lembut, lirih, tetapi anehnya itu seakan-akan menggema di seisi ruang hingga beberapa detik.
Seketika, seluruh atma terdiam. Hening menyapu kegaduhan tanpa sisa.
Sudut bibir pria itu, terangkat membentuk senyuman ramah. “Tenang dulu, ya ….”
Anak lelaki kecil yang duduk agak jauh di belakangnya, sang putra, terbelalak kagum.
Atma mungil di sampingnya tampak sumringah. “Tuan Darman selalu luar biasanya.”
“Mereka …,” tatapan Rama kecil tak bisa beralih, “kasihan.” Dia menyadari sesuatu. Atma-atma itu memiliki mata yang sama, seluruhnya tertuju kepada satu orang; sosok yang telah meninggalkan mereka dan sekarang entah ada di mana. Atma-atma itu hanya ingin menemui orang itu kembali. “Aku pengen bantuin.”
Atma mungil di sampingnya sekadar memandang bocah itu, beberapa detik dalam hening. Hingga kemudian, sebuah tawa kecil bersahabat terdengar. “Sebelum itu,” seorang atma lain, berupa lelaki agak dewasa, mendekat, “Rama, lebih dulu kau harus belajar untuk menjaga para atma dengan baik.” Dia menepuk surainya sehingga perlu sedikit membungkuk. Lalu di saat itu pula, kalung yang dikenakannya berayun, menjadi terlihat jelas. Emas mengkilap, dengan gantungan berbentuk sebuah perisai.
Beralih memandang atma lelaki itu, Rama kecil kemudian mengangguk.
Dengan cepat, senyuman bocah itu mengembang lebar. Seperti tiap kali bermalam di Singgah Lima Menit, Rama kecil selalu ceria dan gembira. Dia menghabiskan waktu dengan banyak atma, hingga akhirnya tanpa sadar dia telah menggunakan seluruh tenaga dan tiba-tiba sudah tertidur.
Si pria yang dia panggil ayah itu akan selalu tertawa geli melihat sang putra selalu saja terlelap di segala sudut ruang. Dia kemudian menghampiri bocah itu, mengangkat dan memindahkannya ke kursi panjang di salah satu sisi dinding, lantas menyelimutinya dengan jaket miliknya.
***
Langkah cepat sebuah kaki kecil terdengar penuh semangat. Memasuki Singgah Lima Menit sambil mengalahkan suara decitan khas pintu kayu, bocah itu berlari menuju sudut ruang dengan tatapan yang langsung fokus ke salah satu atma. “Aku pengen pergi ke suatu tempat sama kamu!”
Atma lelaki itu menatapnya sesaat, kemudian berujar pelan dengan suaranya yang lembut dan bersahabat, “Rama … aku tak bisa pergi ke mana pun.”
Rama kecil tersenyum lebar. “Ayah lagi menemui seseorang. Rama bisa bukain portal, terus kita diam-diam keluar.”