Singgah Lima Menit

Lisa
Chapter #30

Singgah Lima Menit dan Rama


Gemintang beruntung karena kelas pagi ini dilakukan pergantian jadwal karena sang dosen berhalangan hadir. Dia menjadi memiliki waktu untuk istirahat dan menghabiskan hari untuk tidur. Yang tersisa hanyalah satu mata kuliah di sorenya.

“Bintang, lu udah ngerti sama materi yang dijelasin barusan, ‘kan?”

Gemintang menoleh pada lelaki yang duduk di sebelahnya, kemudian mengangguk biasa.

“Buat tugas berikutnya, kalo lu butuh referensi tambahan, gue bisa pinjemin buku lagi.”

Gemintang tersenyum senang. “Boleh banget, Kak.”

Sudut bibir Adimas ikut terangkat. Bertahan menatap adik tingkatnya itu sesaat, dia kemudian kembali fokus membaca buku.

Sudah dua kali ini, senyuman Adimas yang biasanya menghipnotis, tak bisa merebut perhatian Gemintang sama sekali. Meski dia bersikap seolah tak ada apa pun terjadi di depan Adimas, gadis itu sesungguhnya agak tidak tenang. 

Dia sedikit menoleh samping, ke sisi yang lain. Rama meletakkan kepala di meja, menghadap ke arah berlawanan dari tempat Gemintang berada, pemuda itu tertidur. Lebih lagi, beberapa saat lalu ketika datang ke kelas, dia terlihat tidak bersemangat sama sekali. 

Kemudian, Gemintang mengalihkan pandangan kembali begitu saja. Entah mengapa, dia sendiri juga tak berselera untuk mengajak Rama bicara.

Perkuliahan hari ini berjalan cukup lancar. Pak Adi bersikap seperti biasa, tetap ceria akibat mahasiswa terbaiknya, Adimas, terus aktif berpartisipasi. Beliau pasti juga sudah hafal perawakan Rama. Ketika pemuda itu menghidupkan kelas, Pak Adi merespons dengan antusias. Lalu, ketika Rama seolah tak bernyawa seperti saat ini, beliau mengabaikannya seakan lelah menghadapi tingkahnya.

Pak Adi meninggalkan ruang usai berpamitan, sambil berkata, “Adimas, bantuin saya ngurusin beberapa hal.”

“Siap, Pak.” Lelaki itu langsung bangkit dan berjalan beriringan dengan sang dosen.

Para mahasiswa lain satu per satu meninggalkan kelas, hingga tersisa Gemintang dan Rama saja.

Ruang perlahan menjadi sepi, hingga akhirnya menyisakan dua orang. Rama kemudian beranjak begitu saja dari bangkunya, tanpa mengatakan apa pun pada Gemintang. Sementara gadis itu, menatap si pemuda yang berlalu dan menghilang di balik pintu.

“Kak Rama.” Gemintang menghentikan langkah pemuda tersebut di lorong. Pada akhirnya, gadis itu memang tak terus berdiam diri dan membiarkan hubungan di antara mereka kian merenggang. “Bisa kita ngobrol bentar? Mungkin …,” pipi gadis itu merona lantaran malu dan entah mengapa dia tiba-tiba mengatakan ini, “di kafe deket kampus yang baru buka itu?”

“Lu itu …,” ujar Rama lirih—dan seketika membuat Gemintang sangat terkejut—tanpa berbalik untuk menatap gadis itu yang sekarang berada di belakangnya. Dia benar-benar berubah. Tak lagi ketus dan pemarah, atau pun tiba-tiba baik hati dan manis. Kali ini, Rama seperti orang yang sangat tersakiti serta tak memiliki harapan hidup. “Berhenti bersikap kayak gitu. Mending ucapin kalimat itu di depan Adimas.” Dia kembali berjalan, lagi-lagi melebarkan jarak di antara mereka. “Lu lebih pantas berada di dekat orang baik kayak dia, daripada gue yang cuma seorang pengecut buruk.”

“Apa maksud lu?” Gemintang langsung berteriak, tak terima—syukurlah ini sudah sangat sore dan di sekitar sudah tak ada orang sama sekali, selain keduanya.

Sayangnya, Rama tak menggubris dan tetap berjalan, kian menjauh.

Gemintang berteriak makin kencang, “Balik sini lu!”

Pemuda itu tetap melangkah.

Terus, Gemintang berusaha mengerahkan lebih banyak tenaga, berharap sesuatu selain kata-katanya, tersampaikan ke pemuda itu, “Tarik balik ucapan lu!”

Rama masih saja tak terlihat hendak merespons sama sekali. Bayangan pemuda itu menjadi terus lebih kecil seiring tiap detik berlalu. Sekali lagi, Gemintang ingin menyeru kembali. Namun, dia mengurungkan niat ketika kata-kata sudah sampai di lidah. 

Bagaimana bila itu hanya akan sia-sia seperti barusan?

Sementara gadis itu, sudah sangat kesal.

Tiba-tiba, Gemintang berlari mengejar dan dengan cepat menarik pundak Rama agar berbalik, lantas meraih kasar kerah kemejanya. Dia tahu itu bukan keputusan yang baik, tetapi dirinya tak ingin dibuat lelah dan muak lebih lama lagi.

Rama memiliki kemampuan bela diri yang tidak bisa diremehkan dan Gemintang bahkan sudah melihatnya ketika pemuda itu bertengkar dengan Adimas hari lalu. Bila Rama serius berniat membalas, Gemintang pasti akan terhempas dengan sangat mudah. Namun, Gemintang tak tahu cara apa lagi yang lebih baik daripada ini.

“Kenapa lu marah?” Nyatanya, Rama nyaris tak bereaksi sama sekali, dia membiarkan tangan gadis tersebut tetap mencengkram kerah kemejanya. Gaya bicara pemuda itu belum juga berubah, logat menyedihkan yang membuat Gemintang makin muak. “Karena gue bawa-bawa Adimas? Atau karena lu ngerasa gue menghindari topik pembicaraan awal?”

Rama memegang perlahan jemari gadis itu. “Gemintang, itu bukan sesuatu yang perlu kita bahas.” Kemudian membuatnya terlepas dari kerah kemeja pemuda tersebut. “Karena semua juga gak ada yang bakal berubah.” Dia berbalik dan beranjak pergi begitu saja, lagi.

Tiap langkahnya seolah membuat jurang di antara mereka lagi-lagi melebar. “Gue gak punya tempat di mana pun, baik di dunia anak kuliahan ini, maupun toko beserta para atma di sana,” kata Rama. “Lu harus ingat, guelah yang bikin Dalfin menghilang.”

Memikirkan hal itu sekali ini, membuat Gemintang membeku.

“Beda sama lu yang kemudian bisa membuktikan kalo lu masih bisa jagain para atma dengan baik, gue belum bisa membuktikan sesuatu seperti itu … karena gue emang gak bisa jagain atma dengan baik,” pemuda itu melanjutkan lirih, entah Gemintang bisa mendengarnya atau tidak, “gue masihlah seorang cowok egois ….”

Secepat itu Rama menghilang dari pandangannya, secepat itu pula waktu berlalu. Lantas saat ini, Gemintang sudah berada di Singgah Lima Menit. Dia mengakui, berbeda dengan dahulu, akhir-akhir ini jangankan bahagia karena dikelilingi para atma yang ceria dari hari ke hari, dia justru merasa hancur perlahan-lahan lantaran tugas menjaga toko tiap malam ini agaknya memang terlalu berat. 

Kali ini pun, Gemintang hanya diam, duduk di lantai, menyandar dinding sambil menenggelamkan kepala di antara dua lutut yang diangkat. Dia merasa benar-benar kacau. Lelah secara fisik, lebih lagi tak bisa berhenti memikirkan pembicaraannya dengan Rama sore tadi.

“Kak Rama mungkin sebaiknya balik ke toko aja kali, ya. Lagian, Kak Rama menyadari kesalahannya, walau …,” Gemintang makin lesu, “kayaknya dia belum mau sepenuhnya ngerasa bersalah.”

Gemintang tak yakin apakah dirinya diam-diam mengharap sesuatu yang lebih atau tidak, tetapi kalimat ini tetap cukup logis untuk dikatakan, “Dengan berada di toko lagi, Kak Rama mungkin bisa pelan-pelan belajar buat menjaga atma dengan lebih baik—”

“Maaf, Bi, tapi aku tak bisa membiarkan hal itu,” suara salah satu atma terdengar sangat tegas.

Gemintang terkejut, spontan menoleh. “Gana?”

“Kurasa …,” atma lain mendekat, seorang gadis yang tenang, “memang demikian.” 

Kembali menggeser pandangan, Gemintang dibuat makin tersentak. Dia tak menyangka, bahkan Aras juga berpendapat seperti itu.

Dengan cepat, beberapa atma lain muncul di belakang keduanya. Tatapan dan ekspresi mereka tak jauh berbeda. Sayup-sayup pembicaraan—yang bersahut-sahutan dan saling bertabrakan—terdengar, kompak tak menginginkan Rama kembali. 

“Aku kecewa dengan sikap Rama hari lalu yang membuat Dalfin sampai menghilang. Itu keterlaluan!” Gana tampak sangat kesal. “Selama ini mungkin aku tak terlalu menghormati Rama, tetapi aku masih percaya kepadanya. Namun, bila seperti ini, kepercayaanku padanya juga ikut hancur.”

“Aku sungguh tak menyangka ….” Aras mengangkat alis sambil menggeser pandangan ke sembarang arah, perasaannya tampak bercampur aduk.

Gemintang perlahan menunduk. Mereka benar. Rama memang telah bertingkah buruk dan hal itu pasti lebih berdampak bagi para atma. Dia harus mendengarkan dan memahami mereka. Toh, Singgah Lima Menit beserta apa pun yang berada di dalamnya, diprioritaskan untuk para atma.

Menghela napas panjang, Gemintang kemudian mengangkat kepala kembali. “Dari dulu … Kak Rama apa emang selalu kayak gitu? Sama sekali gak berubah?”

Gana agak membeku, dia terdiam sejenak, dan kemudian ekspresinya langsung berubah. Begitu pun para atma di belakangnya, yang lantas saling tatap dengan isi pikiran yang sama.

“Yah, kurasa …,” kata Gana lirih, “kami tak paham mengenai itu.” Dia menjelaskan, “Kau tahu, barang-barang di toko selalu berganti karena terjual, kemudian kedatangan barang-barang lagi untuk dijual … sehingga kebanyakan atma-atma di sini tentu datang belum lama dan tak tahu apa yang terjadi dulu.”

Gemintang mengangguk-angguk paham. “Kalo Aras?” Dia menoleh menatap atma gadis itu, “Aras kan atma dari sepetak ubin lantai di kendali portal? Harusnya udah ada dari awal toko ini dibuat?”

Lihat selengkapnya