Cahaya senja menyapu kulit Gemintang. Dia baru saja menyelesaikan kelas terakhir hari ini. Lelah dan ingin segera beristirahat di kost, lebih lagi gadis itu sedang dalam masa istirahat dari UKM Kewirausahaan. Dia bisa menggunakan waktu-waktu ini untuk lebih memanjakan diri.
Langkah Gemintang melambat saat menyadari seseorang berdiri di depannya.
Seseorang yang paling tidak ingin dia temui saat ini.
Lebih lagi, usai apa yang terjadi semalam.
Rama.
Namun, kian lama Gemintang menunggu selagi pemuda itu memandangnya lekat, perlahan dia menyadari ada yang berbeda dari tatapan Rama.
Sesuatu … yang entah mengapa terasa seperti kegelapan tengah malam, terpaan kencang angin dingin yang membeku, dan bunyi-bunyi mengerikan hewan bersahutan. Seakan-akan, semesta sedang berusaha menelannya.
Ini jauh berbeda dibandingkan masalah yang Rama bilang urgent, tetapi kemudian membiarkan gadis itu sendirian hingga larut malam di Tanggul.
Dan Gemintang tak menyukai aura ini.
Rama tiba-tiba tampak dingin. Dia melirik sesaat gantungan berbentuk kepala rubah imut di tas gadis tersebut, lantas menatap sang pemilik, “Apa lu ambil benda itu dari lantai dua?”
Gemintang tak terlihat ada masalah dengan hal itu. Dia sudah hendak merespons Rama dengan enteng, tetapi pemuda tersebut mendahului dengan aksen yang kian dingin, “Lu sekarang gak bisa ngelihat atma lagi.”
Spontan mengerutkan alis, Gemintang agak kesal, keheranan, dan tak terima, “Kenapa?”
Rama menunjuk gantungan tas tersebut. “Lu menebus pengkhianatannya.” Tatapan pemuda itu yang lagi-lagi sempat bergeser, kemudian kembali tertuju pada gadis itu. Dengan sorot tak setajam biasanya, tetapi entah mengapa seolah menembus hingga sisi terdalam Gemintang. “Artinya, kutukan buat melihat atma, dicabut.”
Gadis itu tertegun.