Rama dengan semangat menunggu Gemintang di depan kelasnya hari ini, namun sesaat ketika satu-persatu mahasiswa mulai keluar dan tidak ada Gemintang diantara banyaknya mereka. Selanjutnya muncul Kiya dan Rana, Rama sedikit kecewa, karena emang benar Gemintang tidak ada. Apa ini yang Gemintang rasakan saat menunggunya di tanggul.
“Sorry, Bintang kok gak sama kalian?” tanya Rama pada kedua teman Gemintang.
“Eh, anu Kak, itu—“ Kiya terlihat gugup dan ragu untuk menjawab.
“Iya kenapa? Gemintang dimana?” tanya Rama lagi.
“Bintang pulkam Kak!” kata Rana spontan.
“Eh, tapi kan—“ Rana dengan cepat menutup mulut Kiya.
“Tapi pulkam setelah jam kuliah pertama,” ucap Rana menyakinkan.
“Pulang ke kampungnya? Tapi kan masih kuliah.”
Fix, pada bohong nih anak! Rama tidak percaya dan menaruh curiga.
“Iya Kak, Bintang mendadak pulangnya,” ungkap Kiya.
“Oh, oke,” balas Rama santai, tapi dalam hatinya pengen kedua teman Gemintang ini menjawab jujur.
Rama uring-uringan, tapi berusaha tak menunjukkan. Sebisa mungkin terlihat santai dan tidak ada apa-apa.
“Kak, kita berdua permisi ya, Kak,” pamit Rana diikuti oleh Kiya.
“Iya.”
Selanjutnya Rama berlalu dengan cepat. Ternyata bukan cuma cewek doang yang moody-an, cowok pun.
“Pengen ketawa sumpah! Tadi kita loh yang pamit. Dianya yang pergi duluan,” kekeh Rana.
“Kak Rama emang beda pokoknya.”
“Ya gitu, udah yuk pulang!” ajak Rana merangkul sahabatnya ini.
“Mampir dulu ya beli Teh Poci,” pesan Kiya.
“Oke.”
“Rasa original dua kan.”
“Tiga dong.”
🛵
Rama turun dari motor, langkahnya ia perlambat untuk menetralkan gejolak amarah, emosi, kecewa dan kesal pada diri sendiri. Hari ini latihan pencat silat bagi anggota baru dan giliran Rama yang melatih. Rama agak heran ketika semua anggota sudah berkumpul dan hanya dirinya yang ditunggu. Dan sepertinya mereka sudah latihan pemanasan. Kemudian Rama menoleh ke arah kursi panjang, dimana ada Adimas yang juga sedang menatapnya.
🥋
“Sorry, gue pikir lu nggak dateng,” ucap Adimas berdiri lalu menghampiri Rama.
“Santai,” balas Rama meletakkan ranselnya di meja.
“Fauzi, sini!” panggil Adimas.
“Siap!” seru Fauzi.
“Gue ada urusan penting dengan Rama, bisa kan pimpin teman-teman lu dulu, gue percaya lu.”
“Wah, jadi nggak enak.”
“Gue percaya sama lu.”
“Kak Rama?” tanyanya tak enak, meskipun keduanya adalah senior di organisasi pencat silat, namun Rama memiliki jabatan lebih tinggi.
“Apa!” ketusnya.