Sepasang pantofel gagah dan sepatu kaca anggun memasuki ruangan. Beriringan alunan piano menggugah aula besar yang dingin menjadi tersenyum lebar saat para tamu berdiri menyambut dengan penuh cinta.
“Tapi, Ayah kenapa aku harus nikah sama—”
“Nak, Ayah pengen kamu membantunya, dia orang yang sangat baik,” selalu begitu yang dia katakan, tak peduli berapa kali sang putra bertanya. Sekian keberatan diutarakan pun, pria paruh baya itu belum kunjung berubah pikiran.
Hingga hari ini datang.
Pernikahan besar yang dinanti-nanti semua orang.
Namun, prosesi yang luhur itu hanyalah panggung palsu. Senyuman merekah yang mereka kira sebagai bagian dari taburan cahaya surga, tak lebih dari sekadar peran yang dibuat-buat.
Di belakang itu semua, semesta yang sesungguhnya terpampang. Sihir yang mengubah proses pernikahan menjadi indah, telah habis. Kini, hanya tersisa kehidupan pahit nan busuk, seperti ruangan bawah tanah dari surga, yang selama ini disembunyikan lantaran berbanding terbalik dengan apa yang ada di atasnya.
***
“Satu tahun putriku?” Pria pertengahan usia dua puluhan duduk di balik meja, berbicara dengan seseorang di balik panggilan telepon tanpa antusias, sambil membolak-balik dokumen di hadapannya. “Yah, emang benar. Ayah, Ibu, istriku, dan Gemintang bakal pergi ke restoran buat ngerayain itu.”
Dia lantas asal melirik kotak kecil berwarna biru tua dengan corak kilau. “Aku ngasih kado aja udah cukup, buat syarat doang. Kalo gak ngapa-ngapain, yang ada diomelin sama Ayah.” Pria itu lantas sibuk menulis beberapa di salah satu lembar dokumen, kemudian berhenti sejenak usai mendengar tuturan seseorang di balik telepon. “Kenapa aku gak sekalian ikut? Aku sibuk dan … gak terlalu peduli juga sih.”
Beberapa menit lagi dia pasti akan mendapatkan kiriman foto mereka yang sedang bersenang-senang di restoran, begitu pikir pria itu, meski dia sama sekali tak menantikannya. Namun, alih-alih mendapatkan jepretan kebahagiaan kecil itu, dia justru mendengar kabar sebaliknya.
Jatuh ke jurang. Kecelakaan tunggal. Menghindari anak kucing liar yang melintas.
Tiga kehilangan nyawa. Satu-satunya yang selamat adalah Gemintang.
“Sungguh disayangkan ….”
“Siapa yang ngira, coba. Kasihan ….”
Nyaris semua orang langsung mengetahuinya, tersebar melalui media sosial dengan cepat, mendapatkan banyak belasungkawa dan doa. Itu adalah kabar duka besar, kecuali bagi pria itu, ayah Gemintang.
Di matanya, Gemintang hanyalah bagian dari panggung palsu. Lantas saat ini, usai para pemain telah hilang, adalah saat paling sempurna untuk menutup tirai dan menyingkirkan skenario buruk itu.
Gadis yang masih sangat belia itu mungkin tak ingat, tetapi semesta telah menjadi saksi, bahwa di malam yang dingin, keras, menyengat bak gigitan pertama apel beku, pria itu meninggalkan Gemintang … di tempat yang sama sekali bukan seharusnya.
***
“Gak apa-apa, sekarang kamu punya banyak keluarga.” Setidaknya, itu yang mereka katakan di depan. Padahal di belakang, senyuman bak malaikat itu sesungguhnya adalah sebuah seringai; cahaya terang di belakangnya hanyalah kegelapan yang menyerap dan memerangkap.
"Ini dana yang kami kumpulkan, semoga bisa membantu. Anak-anak di sini baik banget, kami harap mereka bisa tumbuh jadi orang luar biasa."