Gemintang sudah lelah. Tak ingin percaya kepada siapa pun lagi. Toh, dia juga pasti bisa tetap hidup meski sendirian. Itu jauh lebih baik daripada berharap kepada orang lain, apalagi bergantung kepada manusia-manusia keji yang sibuk menjual dusta dan tipu daya.
Roda kehidupan Gemintang seolah diputar kembali dengan sempurna. Di usia sembilan tahun dan hanya dalam beberapa hari usai ke jalanan yang sama ini, telah ada seseorang yang datang kembali.
Orang yang berbeda, bahkan sebuah keluarga dengan satu putra, tetapi sama-sama mengulurkan tangan.
Namun, Gemintang telah terlanjur muak.
Dia menolaknya.
Gemintang lelah untuk merasakan kebahagiaan palsu dan sesaat, yang hanya akan membuatnya makin pedih ketika harus kembali ke kehidupan di bayang-bayang menyedihkan kota besar.
Lebih baik, dia tetap seperti ini dan tak berharap apa pun lagi.
Namun, mereka justru bertindak sebaliknya. Keluarga itu datang setiap hari, membawa makanan yang sangat layak dan lebih dari cukup untuk sarapan hingga makan malam. Kadang kala juga memberikan pakaian cantik.
Gemintang tentu tak pernah mau menerima itu semua dan mereka sekadar meletakkan barang pemberian mereka tak jauh dari bocah tersebut. Mereka mengira, cepat atau lambat, Gemintang pasti akan memakan makanan dan mengenakan pakaian pemberian mereka.
Namun, Gemintang lebih kukuh. Dia memilih untuk memberikan makanan dan pakaian itu kepada anak-anak terlantar lain yang sekitar.
Gemintang, benar-benar telah menyerah.
Bahkan, ketika lagi-lagi datang para pria dengan aura bak asap hitam menggeliat naik dari tanah ke sekujur tubuhnya, Gemintang tidak lari.
Dia diam, dan tetap diam hingga salah satu dari pria itu telah berdiri cukup dekat untuk dapat mengunci leher dan rahangnya. Gemintang sama sekali tak menunjukkan rasa sakit atau pun ketakutan, meski pria itu kemudian dengan kasar menengokkan kepalanya untuk melihat anting-anting batu safir di telinganya dengan lebih baik.
"Berapa harganya ini, Nona Kecil?" kata pria itu dengan nada sok menggoda yang menjijikkan.
Dalam hati, bocah itu tertawa. Gemintang sendiri bahkan juga penasaran, kira-kira apa yang didapatkannya dengan menyerahkan anting-anting jelek sekaligus kehidupan menyebalkan yang dibawa serta olehnya ini.
Kini ganti mendongakkan kepala gadis kecil itu, pria tersebut menyeringai dengan jauh lebih menjijikan, seiring matanya menyusuri tiap lekuk wajah bulat Gemintang. "Nak … lu sendiri juga bakal lumayan lho, kayaknya, ini."
Pria itu tiba-tiba melepaskan tangan dari Gemintang, lantas sekadar menyipitkan mata saat melihat gadis kecil itu memegangi leher dengan tidak nyaman. "Jadi, gimana?"
"Aku gak peduli."