Siung akan menghabiskan waktu dengan berlarian mengelilingi toko, andai saja pemuda yang baru saja datang ini tidak tergesa-gesa berlari menaiki tangga lantai dua.
Atma lelaki kecil itu sudah gelisah begitu Rama kembali menuju lantai pertama. Dia menatapnya lekat dengan waspada—akan apa yang hendak dikatakan Rama setelah ini, “Apa yang kau lakukan?”
Rama mengatakan begitu saja tanpa menatap atma itu, sambil memasukkan sesuatu ke dalam ransel, “Gue bakal melakukan Makappareng ulang pada Gemintang.”
“Jangan bercanda!” Siung langsung berteriak marah. “Makappareng Bi telah dibatalkan. Dia tak seharusnya melakukan Makappareng kembali!" Itu merupakan tindakan tak terpuji lantaran terkesan seperti plin-plan. “Rama, bukankah kau yang paling mengenai hal ini?”
“Iya, gue tahu."
Siung terperanjat, tak percaya Rama akan menjawab tanpa beban sama sekali. Sesaat, dia sekadar menatap pemuda itu dengan mata yang makin geram, hingga akhirnya buka suara kembali, “Apa alasanmu?”
Rama justru melirik Daluang, “Lu pengen bisa ngobrol lagi sama cewek itu?”
Daluang terkejut. Dia tak langsung menjawab, hingga beberapa momen kemudian, kata-kata juga masih belum kunjung keluar. Dia ragu, dan hal tersebut diketahui Rama tepat saat pemuda itu sendiri berujar kembali, “Jangan berbohong sama diri sendiri.”
Daluang agak tersentak, lantas menghembuskan napas lirih tanda dirinya menjadi lebih tenang. Tampak lebih enteng untuk menjawab, dia lantas mengangguk.
Rama kemudian menatap Siung, “Itu udah sangat cukup buat alasan.”
Siung sudah membuka mulut, bersiap untuk menyangga, tetapi kata-kata tak kunjung keluar—karena memang tak ada. Lantas dalam sekejap, dia menjadi murung dan tampak suram. Lirih, atma itu akhirnya bisa buka suara dengan intonasi sedikit dingin, “Apa kau mengerti konsekuensinya?”
Selesai menutup resleting ransel, Rama tiba-tiba berhenti. Diam. Mematung. Memikirkan pertanyaan atma itu, membuatnya teringat ucapan sang ayah hari lalu.
“Gemintang itu paling tahu … gimana rasanya dibuang oleh seseorang yang paling dipercaya. Itulah kenapa, dia bisa sangat dekat dan memahami para atma. Dia sangat mengerti bagaimana sakitnya ditelantarkan dan dia gak ingin orang lain, bahkan atma sekali pun, merasakan hal serupa.”
Rama kemudian mengerutkan alis. “Kalau gitu, kenapa Ayah membiarkan Gemintang kehilangan kemampuan ngelihat atma?”
Pria itu tetap tenang. Dia tersenyum ramah dan bersahabat, lantas berkata, “Kalo Ayah gak berbuat sampai sejauh ini, apa kamu bakal berpikir sampai sejauh ini juga, Rama?”
Sang ayah benar, semua ini memaksa Rama memutar otak lebih jauh daripada biasa. Ransel yang telah siap, digantungkan di sebelah pundak. “Gue emang lebih baik mendapatkan sesuatu semacam konsekuensi itu.”
Siung tersentak bukan main. Namun, sebelum dia sempat menahan Rama, matanya terlalu sibuk mengunci pandangan pada pemuda itu yang tiba-tiba telah meninggalkan toko.
Jemari mungil Siung menggenggam erat. Dia berujar lirih sangat geram, “Dasar bodoh ….”
***