Angin yang merembes melalui celah-celah dingin, membuat ruangan lebih dingin daripada biasa. Obrolan basa-basi para atma yang saling bersahutan, terasa lebih menjemukkan daripada biasa.
Gemintang sangat lebih memilih untuk berada di sini sendirian, alih-alih harus bersama pemuda yang kini duduk di dekat ujung seberang dinding—membuat dua insan itu berada dalam jarak terjauh yang bisa diraih di ruangan.
Kekesalan yang bergejolak dalam hati Gemintang, mendorong gadis itu untuk tetap diam tanpa ingin berurusan dengan apa pun. Sementara pemuda di ujung sana, bak dilahap gengsi yang mengikatnya untuk tidak berbicara sama sekali.
Bahkan, beberapa saat lalu, ketika Gemintang datang dan memasuki toko, hanya bunyi lirih engsel dan decitan khas pintu kayu tua yang menjadi sapaan. Gadis itu tak mengatakan apa pun.
“Tidak boleh …,” nada bicara Huta terdengar jahil.
Siung langsung merengek. Dia juga sudah memasang wajah imut dan memelas yang dibuat-buat, bersiap untuk mencari alasan. Namun, sebelum sempat mengutarakan itu, perhatiannya tak sengaja beralih ke seorang gadis yang berdiri di dekat jendela depan toko.
Huta mengikuti arah pandang Siung. Berselang sebentar, keduanya saling menatap, agaknya memahami pikiran masing-masing.
“Bi.”
Saat gadis yang dipanggil itu menyadari, dua atma tersebut telah berjalan menghampiri dan kini berada di depannya. “Siung? Huta? Ada apa? Mau ngomongin sesuatu?”
Huta agaknya terkejut karena Gemintang terlihat baik-baik saja, dia bingung harus berkata apa.
Sementara Siung, justru terlihat ceria seolah tak terjadi apa pun, “Bi, kau tahu cerita ini?”
Gemintang menatap lebih lekat atma lelaki kecil itu, bersiap mendengar.
“Kucing yang melihat segalanya," Siung memulai. "Setelah mendengar suara berisik berulang kali dan terus berpindah-pindah, Kucing akhirnya menetap di suatu rumah susun. Sepasang pria dan wanita di tempat itu selalu saling berteriak marah. Hanya seorang anak kecil yang selalu tersenyum. Dia kerap menutup mata dengan ceria di balik punggung Kucing, sambil berhitung, kemudian berlarian mencari-cari temannya."
Dia melanjutkan, "Di perdebatan berikutnya pria wanita itu, mereka mendorong anaknya dari lantai tiga. Namun, mereka berkata bahwa anak itu jatuh saat bermain sendirian di dekat balkon. Sayangnya, semua orang percaya dan hanya Kucing yang tahu segalanya."
Gemintang tak bisa berkata-kata. Terlepas dari Siung yang bercerita dengan wajah bulat ceria nan menggemaskan, kisah tersebut cukup memilukan dan tak bisa membuatnya tertawa. Lebih lagi, ada hal kecil yang mengganggu pikiran sejak tadi, "Itu … beneran kucing?"
"Bukan, melainkan harimau," sahut Siung enteng, seolah tak pernah mengatakan sesuatu yang salah. Lantas sebelum Gemintang hendak menanggapi dengan agak gemas—kesal, tetapi dalam artian bercanda—atma itu mendahului dan seketika membuat garis wajah Gemintang berbanding terbalik, "Itu adalah aku."
Kali ini, Gemintang sungguh tak bisa—lebih tepatnya tak berani—mengatakan apa pun. Topik mengenai pemilik lawas sudah bukan menjadi pembicaraan yang dapat dilanjutkan dengan enteng oleh Gemintang. Lebih lagi, dalam kasus Siung, itu bukanlah kisah menyenangkan