Sepatu cantik Gemintang menapak lantai dengan lebih pelan begitu dia mencapai anak tangga paling atas. Ini pertama kalinya dia memasuki lantai dua. Tak ada pintu di sana, matanya langsung menangkap sebuah ruangan luas tanpa sekat.
Jendela besar berbentuk lingkaran merebut perhatian dengan cepat. Berada di sisi dinding yang lurus di atas pintu Singgah Lima Menit. Cahaya dunia luar mendobrak habis-habisan dari sana, meskipun hanya bisa menyapu sedikit kegelapan di ruang.
Sekitar masih cenderung remang-remang, walau jendela besar itu menyilaukan. Beberapa helai jaring laba-laba di sisi dinding tampak mengkilap, memantulkan sinar. Begitu Gemintang melangkah lebih jauh, udara sesak dan kotor khas debu menyerbu masuk ke paru-parunya.
Di depan jendela besar itu, terdapat tiga kotak kayu masing-masing berukuran setengah sentimeter, dipotong dan dirangkai dengan halus. Mendapatkan penanganan hati-hati yang tampak ukiran elegan yang mengular di pinggiran keempat sisi, membingkai sebuah simbol dan tulisan yang tak bisa dipahami Gemintang.
Di atas masing-masing kotak kayu itu, terdapat tiga benda—Gemintang mengasumsikannya sebagai barang bekas—berbeda yang anehnya tidak ikut berdebu seperti halnya dinding dan lantai di sekitar.
Mata Gemintang bergeser ke kotak paling kiri. Sesuatu di atasnya hampir tak terlihat, tetapi dia tahu bahwa itu adalah sebuah gantungan. Tepat saat Gemintang hendak lebih mendekat untuk mengamatinya, seorang atma berupa lelaki seumurannya, muncul. Berdiri di antara kotak itu dan jendela besar yang masih bersinar terang. Samar-samar terlihat, wajahnya polos tanpa dosa.
Entah mengapa, Gemintang tiba-tiba mematung. Mata keduanya bertemu. Gemintang sangat yakin, atma itu tak memberi pengaruh buruk sama sekali, tetapi memang ada sesuatu dari dalam dirinya yang saat ini sangat memengaruhi Gemintang.
“Kau … kembali?”
Gemintang tersentak bukan main. Pengaruh itu, terasa makin kuat. Dia seperti mati rasa. Tak bisa bergerak, tak bisa berpaling dan masih menatap lekat lelaki tersebut. Kian lama, Gemintang seperti makin ditarik oleh atma itu.
Gemintang tak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Ini memang tak terasa berbahaya, tetapi mengetahui fakta dia mulai kehilangan kendali atas dirinya sendiri, bukan sesuatu yang boleh diabaikan begitu saja.
Di saat Gemintang menyadari pikirannya mulai melemah, melintas seorang gadis anggun. “Bi ….”
Gemintang tersadar dari lamunan. Di depannya sudah tak ada apa-apa lagi. Namun, dalam satu detak jarum jam yang singkat, bayang-bayang gaun panjang berayun, masih mengambang di pandangan Gemintang.
Barusan, aura atma lain yang sangat familiar. “Dalfin?”
Gemintang menoleh kanan-kiri segera, tetapi tak mendapatkan apa pun. Dia lantas menghela napas lesu. Lagi pula, itu sangat konyol, Dalfin telah menghilang sejak beberapa hari lalu. “Gak mungkin, gak mungkin ….”
Terpikir sesuatu, dia kemudian memandang depan kembali. Atma lelaki tersebut tak lagi terlihat. Gemintang memiringkan kepala. Bila membahas yang satu ini, dia agak ragu bahwa itu dapat disebut sebagai halusinasi juga. Pasalnya, Gemintang masih mengingat jelas bagaimana perasaannya ketika menatap mata atma tersebut.
Sekali lagi, Gemintang bermaksud melangkah mendekat untuk memeriksa barang bekas di atas kotak kayu tersebut. Namun, baru sedikit dia mendong tubuhnya maju, perhatian tiba-tiba disebut oleh sesuatu di ujung pandangan.