“Malam, semuanya,” Gemintang sekadar menyapa singkat begitu dia memasuki Singgah Lima Menit. Membuka pintu toko yang dulu terasa sangat menyenangkan serta membuat bersemangat, kini menjadi biasa-biasa lantaran dia sudah melakukannya tiap hari—menjadi terbiasa dan mulai membosankan.
Gemintang masih berjaga sendirian tiap malam. Rama memang telah kembali dari workshop di luar kota, tetapi dengan kemampuannya melihat atma yang telah hilang, pemuda itu tak memiliki alasan untuk datang kemari.
Menghela napas lesu, Gemintang menghentikan langkah dan memutuskan untuk berjalan ke arah lain tepat saat matanya menatap kursi panjang agak di belakang meja kasir, yang kosong.
Jemari menyentuh benda-benda di rak—merapikan yang sudah rapih—Gemintang asal menyibukkan diri dengan seadanya kegiatan—walau tak berguna sekali pun—daripada memikirkan salah satu sisi sepetak ruang Singgah Lima Menit yang tiba-tiba terasa kosong, tak peduli seberapa banyak atma yang sudah bermunculan saat ini.
Satu dua mengulang-ulangi candaan renyah yang mungkin hanya relate dengan para atma, sebagian sibuk dengan obrolan menjemukkan. Namun, Gemintang menyadari, walau sekilas dunia terlihat seperti sedang berjalan seperti biasa, mereka sedikit lebih sunyi daripada biasa.
Obrolan menjemukkan mereka, tak seberisik biasanya.
Si paling ramai pun, Siung, sekadar bermain-main dengan celengan tanah liat berbentuk panda merah, di salah satu sisi rak toko, selagi atma dari benda itu menatapnya tanpa berpaling sedikit pun dan siap untuk mengomel apabila Siung membuat sedikit saja goresan di sana.
Mungkin tak ada seorang pun yang mengatakan mengapa, tetapi semua pasti tahu, penyebab keputusasaan yang menjejal di seisi ruang ini adalah karena ketidakhadiran satu orang. Rama.
Sekali lagi, Gemintang menghela napas lesu, dia ganti meraih gorden jendela. Malam telah datang dan sekarang saatnya untuk menutup selembar kain anggun yang menggantung itu. Namun, alih-alih menarik tali kecil di ujung jendela, Gemintang justru mengeratkan jemari sesaat setelah matanya menangkap sesuatu dari luar sana.
Cukup dejavu, Rama melintas di jalanan depan Singgah Lima Menit. Payung yang dulu tertutup dan hanya dipegang di sebelah tubuh, kini dia kenakan. Dari jendela kaca Singgah Lima Menit yang menumpahkan getirnya kegelapan malam, Gemintang menyadari titik-titik kecil mulai menempel di sana. Gerimis.
Sayangnya, lagi-lagi Gemintang tak bisa berbuat apa pun. Tak bisa menyapa. Tak bisa mengejar. Tak bisa membawanya kembali ke Singgah Lima Menit.
"Laksana …." Atma yang sama masih berada di belakangnya. Gemintang memang hampir tak tahu apa pun, tetapi dia hampir seratus persen yakin atma itu pasti selama ini selalu menjaga dan mengawasi Rama.
"Kak Rama tuh …," kata Gemintang lirih, ingin memastikan, "gak bisa ngelihat atma lagi sebagai konsekuensi karena membuat gue melakukan Makappareng ulang, ya?"
Gemintang masih memandang menembus jendela, tetapi Siung sadar pertanyaan itu tertuju padanya. Toh, sejak tadi, meskipun dia sibuk memainkan celengan tanah liat berbentuk panda merah, perhatiannya lebih tertuju pada Gemintang. "Iya."
Cukup. Jawaban itu sudah sangat cukup … untuk membuat Gemintang tak mau berhenti berpikir. Matanya yang sedikit menyipit dan sorot yang menjadi lebih pekat, telah menunjukkan jelas.
Gemintang tak mungkin menginginkan situasi saat ini.
Sebelum Siung sempat berujar lebih panjang, Gemintang telah lebih dulu melesat meninggalkan toko dengan tiba-tiba, tanpa mengatakan apa pun.