"Tempat ini tak banyak berubah, ya …," suara lembut seorang pemuda yang nyaris tak pernah terdengar sebelumnya, merebut seluruh pasang mata atma saat Gemintang memimpin langkah memasuki ruangan usai membuka pintu Singgah Lima Menit.
Meskipun tatapan Laksana semula mengedar seisi ruang, akhirnya terpaku pula pada satu atma yang berdiri di seberang sisi ruang, tepat berhadapan dengannya.
Senyuman manis Laksana yang bak melelehkan coklat dengan perlahan, mengembang. “Lama tak berjumpa.”
Wajah datar atma kecil itu tak berubah, agaknya kesal karena dia harus menanggung rindu akan menghilangnya Laksana selama bertahun-tahun. Namun, akhirnya dia membalas dengan tawa lebar yang sangat-sangat ceria sambil berlari penuh semangat menghampiri. “Namaku sekarang Siung, lho!”
Laksana menatap lelaki kecil itu dengan mata melebar antusias, kemudian beralih pada Gemintang. "Kau memberi nama untuk semua atma?"
"Iya, tahu!" Rama menyela lebih dulu dengan kesal. "Ngeselin, 'kan? Bahkan sampai sekarang gue masih belum hafal siapa yang mana."
Laksana tertawa kecil, membuat Gemintang langsung menatapnya dengan senyum kecil yang sibuk mencuri-curi tempat di wajahnya. Bila ada nominasi siapa laki-laki yang paling bisa meluluhkan hati gadis itu, agaknya Laksana menjadi kandidat terkuat. "Kurasa itu bagus. Syukurlah dia berada di sini menemanimu, Rama."
"Benar sekali," Siung ikut bersemangat. "Aku sangat senang semenjak kedatangan Bi!"
"Ngomong-ngomong … sesungguhnya apa yang terjadi? Aku telah memiliki gambaran, tetapi … kurasa ada beberapa hal yang terlewat."
"Rumit," kata Siung masam, "sesuatu yang sangat rumit, tahu."
"Gue bertindak sesuai insting sih …," Gemintang tertawa renyah dan menggaruk rambut tak gatal, "tapi apa yang gue lakuin tadi bener? Gak nambah masalah, 'kan?"
“Makappareng ulang itu …," kata Siung mulai menjelaskan, "sesuatu yang mustahil untuk dilakukan sendiri, karena konsekuensinya adalah tidak bisa melihat atma. Itu menjadi seperti: seseorang bisa melihat atma, tetapi kemudian tidak bisa. Jadi, sama saja, sia-sia. Kembali ke semula, tidak bisa melihat atma. Namun, Makappareng Hilir adalah kondisi khusus."
Siung melanjutkan, berbeda dengan Makappareng biasa yang menggunakan pengkhianatan dan kutukan sebagai alasan untuk memiliki kemampuan melihat atma, Makappareng Hilir menggunakan rasa rela atau kebesaran hati sebagai alasan untuk memiliki kemampuan melihat atma. Maka karena itu, Makappareng Hilir bahkan bisa dilakukan berkali-kali dan tak ada konsekuensinya.”
“Kalau gitu, kenapa Kak Rama jadi gak bisa ngelihat atma? Padahal yang Makappareng kan gue?”
Siung bilang, “Karena Rama membuatmu melakukan Makappareng untuk kedua kalinya, konsekuensi atas Makappareng ulang dirasakan oleh Rama: tak bisa melihat atma.” “Andai saja kau gagal melakukan Makappareng Hilir dan berakhir melakukan Makappareng biasa, kemudian mengatakan bahwa tidak merasa dipaksa oleh Rama, yang ada kau akan kehilangan kemampuan melihat atma lagi, Bi—karena konsekuensinya berpindah padamu.”
Gemintang agak terbelalak, tertegun.
Siung mengerutkan alis. “Kau memahaminya?”
Gemintang sekadar memandang atma lelaki kecil itu. Belum kunjung mengatakan apa pun.