Asya yang ditemani Ulki terus mencari ayah dan ibunya sambil berteriak panik. “Ayah, ibu dimana kalian,” teriakan itu terus diulangi Asya hingga tenggorokannya mengering.
Saat mencari di bagian tengah pinggiran hutan, tiba-tiba pandangan Asya berfokus pada satu titik. Ada sebuah pohon besar yang dipenuhi lumpur tsunami, disitu Asya melihat sobekan baju yang kemarin digunakan oleh kedua orang tuanya.
“Ini sobekan dari baju yang ayah gunakan saat makan malam kemarin, dan ini dari daster milik ibu. Apakah ayah dan ibu benar benar telah meninggal?,” ucap Asya tergapap lalu air mata yang tidak dapat terbendung pun jatuh dengan derasnya.
Dia terus menangis sambil memeluk sobekan baju tersebut. Teringat flashback kenangan bermain bersama ayahnya. Tidak hanya mengingat saat bermain, saat rapuh ini Asya juga mengingat saat dia mencari ikan di laut, berburu di hutan dan semua kenangan bersama ayahnya.
Asya juga mengenang saat berkebun dengan ibunya. Kenangan saat dia jatuh terluka lalu diobati oleh ibunya masih melekat jelas di pikirannya. Momen-momen saat dimarahi, bercanda, tertawa bersama kedua orang tuanya membuat air mata Asya semakin deras.
Kepala Ulki keluar dari tas koja yang dibawa Asya sejak bencana tadi malam. Beast ular tersebut merasa ikut sedih melihat orang yang selalu bersamanya selama 3 hari itu menangis.
Hilang dan hancur berantakan pikiran Asya yang mengira ayah dan ibunya masih hidup. Saat depresi dan jatuh seperti ini, dia mengingat perkataan orang tuanya, “Asya, jadi anak laki-laki itu harus kuat, tidak boleh terlarut dalam kesedihan. Harus jadi orang yang tegar”.
Perkataan itu selalu diucapkan oleh kedua orang tuanya apabila Asya menangis. Sewaktu kecil Asya sering menangis, entah karena jatuh, gagal berlatih ilmu bela diri fighter, atau kehilangan mainannya.
Kata-kata itu teringat oleh Asya, lalu dia menghapus air matanya lalu mengambil sobekan baju milik ayah dan ibunya. Dia ingin menguburkan kedua sobekan baju tersebut.
Saat kecil, Asya mempunyai seekor anjing yang ditemukan ayahnya di pinggir hutan. Beberapa tahun kemudian anjing itu sakit lalu meninggal, ayah menggali tanah dan menguburkan anjing tersebut.
Dari situ ayahnya juga menjelaskan, saat manusia atau mahkluk hidup meninggal harus dikubur. Buatkan kuburan untuk peristirahatan terakhir dan mengenangnya. Hal ini diucapkan ayah saat mengubur Ciki (Nama anjing Asya).
Mengingat hal itu dan berpikir orang tuanya telah meninggal serta tidak dapat ditemukan tubuhnya. Asya ingin menguburkan sobekan baju milik orang tuanya. Untuk melakukan hal itu, dia menggali tanah di dekat kebun milik orang tuanya yang kini sudah hancur berantakan.
Setelah membuat tempat pengistirahatan terakhir ayah dan ibunya, Asya kembali ke tempat posisi rumahnya dulu berada. Di pasir bekas rumahnya berdiri itu, kini dia hanya dapat melihat puing-puing bangunan dihiasi lumpur yang tersebar di sekitar pesisir pantai.