Harum masakan menguar membuat perut Susan bertambah keroncongan, ia sedang liburan dari tempat ngajarnya dan pulang ke rumah masa kecilnya.
Rupanya, suasana rumah tak seperti dulu ketika ia kecil dan saat sang ibu masih hidup, kini, semua orang rumah seolah hidup masing-masing.
Terdengar orang-orang rumah sedang makan malam, Susan bersiap keluar kamar menyiapkan mental, sebenarnya dalam hati dirinya malu, untuk makan, orang-orang rumah patungan, sementara ia tidak.
Begitu sampai di dapur, Susan mengambil piring, lalu ikutan jongkok mengambil nasi yang berada dekat kakak iparnya. Matanya masih bisa menangkap, kakak iparnya itu langsung berwajah masam, ketika ia menyiduk nasi dan lauk.
"Apa-apa serba mahal, kalau ingin makan ya harus beli beras masing-masing." Komentar kakak iparnya itu ketika Bapaknya Susan telah pergi, hanya tersisa dirinya dan dua adik kecilnya.
"Kamu mah gembul makan tuh, mikir kalau beras tuh Mahal." Kakak ipar yang laik menegur adik bungsu Susan yang nambah lauk dan makan.
Hilang sudah selera makan Susan, ia tak melanjutkan menyuap nasi, hatinya teriris melihat dua adiknya diperlakukan seperti itu. Jika dirinya yang disindir hatinya masih bisa menahan. Namun, melihat langsung adiknya dibentak, terluka sudah hatinya. Untuk menjawab ucapan pedas kakak-kakak iparnya itu, ia tak memiliki nyali.
Depan jendela kamar yang tirainya terbuka, Susan duduk menatap pesawahan dengan pandangan kosong. Masih terngiang dalam telinganya sang ibu berkata-kata, pun saat terdengar suara-suara dari dapur, itu adalah sang ibu sedang memasak. Sekarang, untuk Pergi ke dapur saja, ia tak berani.
Pintu kamar terdengar diketuk kasar dari luar, terburu Susan membuka, itu adalah kakak kandungnya yang tinggal tak jauh dari rumah yang ia tempati sekarang.
"Ngapain sih pintu dikunci segala?" Begitu membuka pintu, sang kakak langsung menyembur dengan kata-kata menyakitkan. "Kamar kamu, juga bukan."
Susan menunduk, merasakan kedua matanya memanas. Hingga buliran bening itu mentik di pipi.
"Ada informasi dari Jakarta, kamu disuruh kerja sama saudara Bapak, jadi staf klinik, tugasmu hanya nulis-nulis saja apa yang Dokter bilang." Maryam menjelaskan.
"Saya kan sedang ngajar di pondok, kak." Susan menggeleng.
"Halah ... Buat apa sih kamu tuh ngajar di pondok, uang hasil ngajar tidak cukup untuk makan?!"
"Cukup kak, buat keperluan pribadi."
"Lalu adikmu?! Kamu tidak mikir untuk adikmu yang perlu dibiayai, hah?!" Maryam menatap tajam wajah Susan yang menunduk. "Mikir kamu itu, udah tua! Pakai kerudung kaya kelelawar ke mana-mana, biasa aja jadi Islam itu, gak usah berlebihan kaya gitu!"
"Saya itu lulusan pesantren kalau kerja di tempat kaya gitu saya tidak bisa." Dalam hati Susan menangis, ia tidak ingin akidahnya yang masih lemah, rusak oleh pergaulan bebas di Jakarta.
"Lulusan pesantren! Sekarang kamu itu punya apa?! Rumah tidak punya! Kamu itu di sini cuman numpang, rumah ini sudah dibeli oleh Rini. Kamu punya apa? Ngajar di pesantren itu!"
"Saya tidak, bisa." Susan menggelengkan kepala, berkata lirih.
"Kamu itu emang bloon ya, dari dulu gak ada berubahnya, harusnya kamu itu mikir kaya orang tuh! Punya gaji sendiri punya rumah sendiri, sawah, kendaraan, ini mah emang dasarnya tolol!" Maryam mengangkat suara dengan nada tinggi. "Tak habis pikir saya sama kamu itu, Ibu juga meninggal gara-gara kamu! Biayain kamu di pesantren, sekarang hidupmu tidak jelas dasar tolol, goblok! Sana kau pergi, rumah ini juga sudah dibeli!"