Single Mom

Airlangit9
Chapter #3

Bersabar

Dengan ragu, Susan mengikuti langkah Nita yang mendekati meja itu. 

"Kita akan duduk di mana, Nita?" tanya Susan Lirih. Nita menoleh ke arahnya dan tersenyum tipis. Wanita itu duduk semeja dengan Rusli, sontak saja Susan kaget sebentar dan merasa malu ketika menyadari dirinya jadi pusat perhatian orang-orang yang duduk di meja itu. Sementara Rusli tampak menunduk, berwajah dingin, mengaduk-ngaduk es di gelas dengan sedotan.

"Ayok ... Duduk." Nita meraih lengan Susan untuk Ikutan duduk.

"Siapa, Nit? Baru liat." Fahmi bertanya, tersenyum memandang wajah Susan.

Susan semakin menundukkan wajah, ia melirik takut ke arah Rusli yang terlihat wajahnya, semakin dingin. 

"Istrinya, Rusli." Nita menjawab tersenyum manis, sembari memandang Rusli.

"Lah, kok bisa berangkatnya, bareng kamu?" Farida menatap heran Rusli dan melirik sekilas kepada Susan.

Rusli tersenyum ramah seraya berkata, "Saya tidak tahu jika Nita mau ngajak Susan." 

"Susan siapa?" Giliran Abdan yang bertanya.

"Istri saya." Rusli menjawab, menatap datar Susan yang terus menunduk.

"Kalau Rusli seorang guru, pekerjaan kamu, apa?" tanya Farida menatap hangat kepada Susan.

"Sssaya ... tidak bekerja." Susan menjawab gagu. 

Farida tersenyum miring mengangkat kedua alisnya. "Oh ... kirain, guru ... Istri sebelumnya Rusli, guru loh. Satu sekolah . Anak ulama juga. Pekerjaan bapak kamu, apa? Dan kamu, lulusan fakultas, mana?"

"Bapak saya Petani, saya tidak kuliah." Susan menjawab sembari tersenyum ramah.

Bela tersedak mendengar jawaban perempuan itu, ia menatap tak percaya kepada Rusli. "It looks like, you married her, only to get revenge on Arsy!"

Rusli menghela napas. Lalu memainkan ponselnya sendiri. Hingga beberapa pelayan muda datang membawa hidangan, kemudian menata tertib di atas meja.

Melihat hidangan itu, Susan meneguk air liur berulang kali. Ketika mereka mulai mengambil piring, ia pun ikutan mengambil nasi dengan porsi banyak dan menumpuk semua lauk dalam satu piring. Melihat apa yang dilakukan Susan, mereka semua tersenyum geli.

Susan mulai makan dengan lahapnya setelah mengucapkan doa. Ia baru menyadari jika orang-orang makan dengan santai dengan porsi makan yang sedikit di masing-masing piring. Wajah Susan memerah melihat posri yang ia makan satu kali lipat dibandingkan porsi mereka. Ia pun, memelankan makannya seperti mereka.

"Pantesan porsinya, banyak. Anak petani." Farida berbisik kepada Bela. Kedua wanita itu cekikikan.

Wajah Susan berubah sendu dan murung, ia tidak menuntaskan makan. "Saya ... Ke toilet dulu." Susan melangkah menjauhi meja itu, terdengar cibiran-cibiran lain di belakangnya.

Depan cermin, Susan termenung menatap pantulan wajahnya. Buliran bening sesekali meluncur di pipinya.

Ketika ia keluar toilet, ternyata Rusli telah menunggunya di luar. Wajah Susan berubah cerah, melihat sang suami ternyata perhatian, tidak seperti yang ia pikirkan.

Rusli melangkah cepat, meraih kasar lengan Susan dan membawanya menjauhi toilet. "Kenapa kamu ikut? Kamu mempermalukan, saya! Lihat penampilanmu dari bawah hingga ke atas, bahkan pelayan-pelayan tadi cantik-cantik, sementara kamu?" 

Dengan mata berlinang, Susan menatap kabur bayangan tubuhnya di kaca yang tampak pendek, ia memang tidak tinggi hanya 157. Mengenakan gamis, jilbab lebar dan sepatu karet yang lusuh. Serta tas biasa yang selalu ia pakai jika belanja ke pasar, dulu. Ia tidak memiliki banyak pakaian, hanya beberapa setel saja.

Melihat teman-teman Rusli mendekat, Susan langsung menyeka air mata dengan ujung jilbab. 

"Kita belanja dulu, Istri saya ingin belanja tas dan pakaian." Fahmi tersenyum sembari memegang pinggang Bela.

Di toko pakaian samping Restoran, para wanita itu berbelanja. Susan mengekori Nita yang asal ambil pakaian yang wanita itu lihat.

"Kamu, tidak belanja?" tanya Bela kepada Susan.

"Tidak ...." Susan menggeleng.

"Pakaianmu sudah lusuh gitu, tidak usah ragu, ambil saja pakaian yang kamu inginkan, toh kita juga ngambil karena dibayarin suami." Farida tertawa diikuti Bela.

"Saya bayar sendiri ya. Belum menikah." Nita menyahut.

"Ttapi ... pakaian saya masih ada." Susan tidak seberani mereka kepada suami, mengingat sikap dingin Rusli, dia tak berani, sekedar untuk meminta uang jajan, jika bukan karena terpaksa. Apalagi untuk membeli pakaian.

"Ambil saja, istrinya yang dulu juga tukang shoping seperti kami." Nita membenarkan.

Pandangan Susan bertumpu pada set gamis berwarna maroon. Ia meraih gamis itu ragu.

"Jangan beli gamis mulu, pakaian seksi dalam rumah misalkan, lingerie." Farida berkata.

"Apa itu, lingerie?" Susan mengerutkan kening.

Farida langsung menunjuk, pakaian tidur perempuan, yang transparan dan dalaman yang nyaris tidak berbentuk dalaman pada umumnya.

"Pakaian seperti apa itu? Murahan sekali." Susan berkata jujur. Wajah para perempuan itu sontak berubah merah.

"Itu untuk menggoda suami, istri jaman Sekarang itu harus agresif, sebab banyak sekali perempuan nakal, pelakor di luar." Farida menjelaskan.

Wajah Susan berubah sendu, jika mengingat hubungannya di kamar dengan Rusli. 

"Ada bule!" Farida menunjuk wajah-wajah luar negri yang memasuki ruangan. Para perempuan itu meminggir begitu tiga turis asing itu lewat. 

"Pardon me, may I ask?" Perempuan dengan setelan minim bertanya kepada Susan yang tampak terkejut oleh pertanyaan dadakan dari orang asing itu. 

*Bolehkah saya bertanya? Maaf. 

Bela melangkah mendekati turis itu untuk menjawab pertanyaannya, dirinya merupakan guru bahasa Inggris. Sudah jelas, Susan tidak mengerti apa yang orang asing itu tanyakan.

Lihat selengkapnya