Aku tahu saat ini aku sedang tidak bermimpi tapi kenapa setiap melihat dirinya aku seperti sedang bermimpi, seolah dia tidak pernah nyata di dalam kehidupanku. Kamu pasti tahu Anonymous, walaupun dia sebenarnya punya identitas tapi bagiku dia tidak lebih dari seseorang Anonymous untukku.
“Biar saya yang antar dia pulang.” Dengan gagah berani dia mengucapkan hal itu kepada Eka.
“Rahayu, kamu kenal sama dia?” Aku menatapnya dalam, jangan tanya, aku masih dalam pemikiranku sendiri walau entah kenapa kepalaku mengangguk dengan sendirinya. Laki-laki itu menatap Eka tanpa ragu seolah mempertanyakan kenapa Eka masih menggenggam tanganku dengan kekeuhnya.
“Kalau Rahayu nggak ngomong kalau dia mau ikut dengan kamu, aku nggak akan ngelepasin tangannya!”
“Kamu buta yah?! Dia kan tadi udah ngang …”
“Udah cukup! Eka biar aku pulang sama dia, aku kenal kok sama dia.” Yah, dia merasa menang karena sudah mendapat pengakuan dariku.
Eka mengangguk dengan wajah yang terlihat resah, “Oke Ra, kalau ada apa-apa hubungi aku yah.” Eka kemudian menjauh dari kami. Aku tersenyum, aku yakin Eka salah, lelaki ini tidak mungkin melakukan hal yang aneh padaku.
Dia melepaskan genggamannya padaku, “Ayo pulang.” Aku menatap punggungnya yang berjalan menjauh. Dan aku yakin sekali lagi kalau semua mimpi ini akan segera berakhir seperti hembusan angin.
***
“Sakya Waranggana! Aku nggak suka yah dengan sifat kamu yang kekanakan seperti ini! Kamu laki-laki kan?! Kita bisa kan bicara ini baik-baik, nggak usah sampai berantem kayak begini!” Perempuan itu seolah-olah hanya berbicara dengan tembok karena laki-laki yang dia marahi hanya sibuk dengan urusannya sendiri. Dia hanya sibuk mengepak barangnya tanpa mempedulikan perempuan itu. “Sakya!!!” Perempuan itu tidak dapat menahan emosinya lagi, dia melempar semua barang dari meja hingga pecah dan usahanya itu membuahkan hasil, laki-laki itu memberikan perhatiannya.
“Apa lagi yang musti kita bicarakan sih, Ta? Apa yang aku katakan itu sudah jelas dan keputusan aku itu juga sudah jelas!”
“Kamu memutuskan ini karena perkataan aku semalam kan? Aku sudah bilang Sakya, aku ngomong itu karena aku emosi tapi sebenarnya itu nggak benar. Please Sakya, kita pasti bisa omongin ini baik-baik.” Sakya terduduk, kepalanya sudah sangat penat sekarang dan satu-satunya yang dia butuhkan adalah ketenangan.
“Atalie, kamu tau nggak kalau ucapan dari seseorang yang emosi itu terkadang adalah ucapan yang sesungguhnya berasal dari hatinya. Semalam kamu bilang kalau orang tua aku tidak bisa mendapatkan beberapa proyek yang dia ingin kan kalau aku dan kamu nggak menikah. Yang kamu bilang itu bener kok Ta, orang tua aku bisa mendapatkan proyek bisnisnya kalau berbesanan dengan orang tua kamu tapi itu orang tua aku, Ta! Mereka tidak bisa sukses tanpa kamu dan kamu bisa menginjak harga diri mereka tapi kamu salah kalau melakukan hal itu sama aku karena aku bisa hidup sendiri tanpa kamu dan bisa berusaha sendiri tanpa kamu! Jadi mari kita selesaikan hubungan tidak menguntungkan itu di sini dan kamu mulai mencari laki-laki yang dapat menguntungkan buat kamu dan aku akan berusaha untuk kesuksesan hidupku. Kita akhiri saja pertunangan ini, Atalie Prasiya!” Sakya melepaskan cincin yang dikenakannya dan menaruhnya di depan Atalie.
“Sakya!!! Aku nggak akan pernah menerima keputusan sepihak kamu kayak gini!”
“Terserah Ta, terserah! Aku bakalan pulang ke Indonesia besok dan aku mohon dengan sangat sama kamu nggak usah cari aku dulu!” Sakya mengangkat kopernya yang sudah full dengan bajunya itu dan pergi meninggalkan Atalie.
“Kamu mungkin bisa menentang kata-kata aku Sakya tapi nggak dengan perkataan orang tua kamu!”
***
“Lepasin aku, Elam! Lepasin Elam, sakit!” Tammy berusaha meronta melepaskan tangannya setelah ditarik paksa oleh Elam ke taman dekat rumahnya. Elam menghempaskan Tammy dengan kasar ke tanah membuat telapak tangan Tammy tergores. “Kamu kasar banget tau nggak, Lam!”
“Itu hukuman buat kamu karena nggak mau dengerin aku kemarin!” Elam menatap tajam Tammy dan itu membuat bibir Tammy bergetar.
“Aku kan udah ijin sama kamu kemarin kalau aku pergi sama Rahayu, aku harus nepatin janji aku sama dia. Lagian aku nggak keluar sama laki-laki lain jadi kenapa kamu harus semarah ini?!” Tammy tidak mau kalah, dia tidak mau laki-laki ini menghancurkan kepercayaan dirinya.
“Seharusnya kamu lebih dengar aku daripada Rahayu, kamu harusnya lebih ikutin aku daripada Rahayu! Aku lebih sering bantu kamu bayar kebutuhan kamu daripada Rahayu jadi aku lebih berguna daripada Rahayu. Lalu kenapa kamu lebih mentingin janji kamu sama Rahayu? Malah sebenarnya kamu nggak usah bertemu sama Rahayu lagi!” Tammy memandang Elam tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Kalau ini karena masalah kamu bayarin beberapa kebutuhan aku sampai aku nggak boleh ketemu sama sepupu aku lagi, kamu bener-benar keterlaluan Elam! Lebih baik aku kembaliin uang yang sudah kamu hamburkan buat aku dan kita nggak usah ketemu lagi!”
“Plaakkk!!!” suara tamparan itu terdengar jelas di telinga Tammy dan bukan hanya meninggalkan suara tapi juga sakit dan kemerahan di pipi Tammy.
“Itu ganjaran buat orang yang nggak tau terima kasih kayak kamu!” Tammy benar-benar shock, Elam sudah benar-benar gila di mata Tammy.