Entah bagaimana perasaan hatiku saat ini, di satu sisi aku mungkin bahagia karena Sakya mau menghabiskan waktu makan malam bersamaku, tapi di satu sisi aku juga sadar kalau aku tidak bisa mengharapkan apa-apa dari Sakya dengan mengetahui kenyataan kalau dia pulang bersama Atalie ke Indonesia. Aku yang bodoh, memang seharusnya mungkin aku tidak boleh mengharapkan apa-apa dari Sakya karena dia adalah milik Atalie.
“Bisakah kau katakan saja apa keinginanmu dan segera pergi dari sini? Aku sudah muak untuk berurusan denganmu atau tunanganmu lagi.” Terdengar ketus, bukan? Namun, inilah yang harus aku pilih, aku harus berpikir realistis sekarang. Sakya dan aku tidak ditakdirkan untuk bersama-sama dan hal ini aku lakukan untuk menyadarkanku dan juga Sakya.
“Aku hanya ingin membuat makan malam untukmu dan untukku, itu saja.” Dia kembali tidak menghiraukanku.
“Aku tidak mau makan apa pun saat ini,” ucapanku menghentikan langkahnya.
Dia berbalik kemudian menatapku tajam. “Kalau kamu mau aku segera pergi dari sini maka duduk diamlah dan makan denganku. Kau tidak mau kan kalau aku tinggal lebih lama lagi di sini karena harus membujukmu makan.” Dengan tegas dia berhasil membungkam mulutku.
Makanan demi makanan mulai tersaji di hadapanku, seperti yang sudah aku ketahui sejak dulu kalau Sakya memang pandai memasak. Bodohnya aku adalah mulai memandang makanan itu satu-persatu dan bernostalgia tentang kejadian dahulu saat aku masih bahagia bersamanya. “Makan …” Dia mengambil beberapa lauk di piring begitu juga denganku.
“Aku tahu dengan memberitahu ini tidak akan mengubah pemikiranmu tentangku, tapi dari awal aku ke sini memang ingin memberitahumu kalau aku sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Atalie. Ini bukan karena kamu tapi murni karena aku, aku sudah tidak sanggup terus-menerus berbohong mencintai Atalie padahal sebenarnya tidak sama sekali.” Perkataannya itu membuat aku semakin mengeratkan sendok yang kupegang. “Aku sadar bahwa selamanya aku tidak bisa menggantikan Sava di dalam hatimu walau aku telah melakukan segalanya.”
BRAKK!
“Aku udah peringatin kamu kalau hal ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan Sava!” Sakya sangat kaget dengan dobrakan meja yang aku lakukan. “Aku tidak pernah mengaitkan bahkan menyebut nama Sava sama sekali dalam pembicaraan kita ini, Sakya!”
“Aku memang terlambat, kan?! Sava lebih duluan lagi datang menemui dan membujukmu dari pada aku! Atalie cuma alasan buat kamu supaya bisa usir aku pergi, iya, kan?!” Aku menatap Sakya dengan penuh kemarahan.
“Kamu tidak tahu apa yang terjadi sama aku saat kamu memutuskan pergi tinggalin aku. Kamu tidak tahu bagaimana perasaan aku saat kamu terus mengacuhkan aku ketika kamu bersama Atalie! Apa pernah terucap dari mulutku kalau aku menjadikan Atalie sebagai alasan untuk mengusirmu karena aku mau mempertahankan Sava? Apa pernah aku mengeluh sama kamu ketika aku sangat terluka melihat kamu pergi dan sifat kamu yang berubah terhadap aku setelahnya, apa pernah?!” Sakya menggeleng di depanku.
“Lalu kenapa kamu datang kemudian menuduhku seolah-olah aku tidak terluka atas semua kejadian dan perlakuan jahat yang kamu lakukan ke aku!”
PRANGG!
Aku menghamburkan semua piring yang ada di atas meja itu ke lantai hingga pecah.
“Rahayu!”
“Astaga, Non!” Bibi sangat kaget mendengar suara keributan yang aku hasilkan begitu pun dengan Sakya yang memang tidak pernah melihat sisi monsterku yang satu ini.
“Lebih baik kamu diam, Sakya, kalau kamu hanya ingin membicarakan sesuatu yang menambah luka di dalam hatiku lebih baik kamu diam dan pergi dari sini! PERGI!” Kepalaku mulai nyut-nyutan dan mataku pun buram, semenit kemudian aku hanya mendengar suara Sakya yang memanggil namaku, pandanganku menggelap.
***
“Makasih, Elam, udah anterin aku ke sini.” Elam mengulas senyum ke Tammy. “Aku langsung turun, ya, bibi nanti tambah panik kalau aku belum sampai-sampai.”
“Tunggu bentar, Tammy.” Elam menahan tangan Tammy untuk pergi.
Tammy menatap Elam penuh tanda tanya. “Ada apa, Lam?” Elam mulai membenarkan duduknya agar bisa berhadapan dengan Tammy.