Singularity

Rezky Armitasari
Chapter #6

Kebaikan yang Menyakitkan

“Kamu mau sampai kapan di sini, Ra?” Terdengar suara khawatir di sampingku. Dia benar, aku di sini sudah terlalu lama, sudah dari sejam yang lalu dan yang aku pandangi hanyalah dua insan yang tengah tertawa sambil memainkan bola basket.

“Mereka bahagia banget, ya, Rell.” Aku tersenyum sarkas.

Farrell menggenggam tanganku erat. “Makanya kita pulang aja, ya, Ra. Tammy pasti udah nungguin dari tadi.” Aku terdiam dengan air mata yang mulai menetes di pipiku, aku yang bodoh karena masih mengharapkan sesuatu yang tidak mungkin tanpa menyadari kalau dia masih memiliki hubungan dengan perempuan itu yang menjadi salah satu alasan kita berpisah kemarin. Aku memegang dadaku kuat, kenapa aku terus disakiti oleh khayalan yang aku ciptakan sendiri? Rasa sakit yang timbul membuatku memukuli dadaku sendiri.

“Ra, stop! STOP!” Farrell berusaha menahanku dalam usaha menyakiti diriku sendiri.

“Aku capek, Rel. Aku capek, AKU CAPEK!” Aku berteriak mengeluarkan rasa sakit ini, aku sudah tidak tahan.

Farrell memelukku erat. “Aku ngerti, Ra. Kita pulang sekarang, ya, supaya kamu bisa istirahat.” Aku mengangguk lemah dalam pelukan Farrell, entah kenapa rasa pusing dan lemas itu muncul kembali.

Farrell memperbaiki setting kursiku agar aku bisa sedikit menyender dan menaikkan kacaku tapi sebelum semuanya tertutup sebuah tangan menghentikannya. “Rahayu!” Wajah Sava, lelaki yang bermain dengan bahagianya tadi terlihat dari jendela itu.

Pandanganku hanya lurus ke depan, untuk apa mendengarkan dia menjelaskan semuanya? Aku tidak mau lagi dibodohi oleh penjelasan itu. “Aku mau pulang.” Singkat dan jelas.

“Tunggu, aku nggak bisa biarin kamu pulang dalam keadaan salah paham kayak begini, Ra.” Aku menatapnya penuh amarah.

Aku turun dari mobil dengan perasaan yang berapi-api. “Keadaan seperti apa yang kamu maksud, hah? Keadaan seperti apa? Kamu nggak usah sok tahu mengenai keadaan aku, ya! Sejak kamu pergi, kamu sudah kehilangan hak untuk tahu segala hal tentang aku dan keadaan aku terus sekarang kamu mau sok-sokan ngerti tentang keadaan aku?”

“Rahayu!” Farrell menegurku untuk tidak marah yang meledak-ledak lagi, aku tahu ini pasti karena kesehatan mentalku yang membuat dia khawatir.

“Ra, aku anter kamu pulang, ya, biar kita bisa ngobrol dan aku bisa ngerti keinginan kamu.” Sava memegang tanganku erat.

“Bener-benar nggak punya perasaan kamu, Va!” Tanganku melayang tanpa aku sadari mengenai wajah Sava.

“Rahayu!” teriak Farrell dan Niesha bersamaan. Sava jatuh terduduk yang langsung dihampiri oleh Niesha, aneh karena seharusnya tamparanku tidak sekeras itu, kan?

“Kamu kenapa sih? Apa harus kamu namparin Sava kayak gini? Dia itu cuma mau ngomong baik-baik sama kamu lagian Sava nggak bisa kamu kasarin kayak gini. Dia itu lagi sa ….” Omelan Niesha terhenti karena Sava yang terlihat menggenggam erat tangannya dan itu membuatku semakin tambah yakin kalau ada sesuatu di antara mereka.

“Nggak masalah, biar saya saja yang terus menjadi orang jahatnya dan biar kamu yang selamanya menjadi perempuan baik-baik yang akan selalu menjaga dia mungkin dengan ini dia tidak akan mendekati saya lagi. Farrell, ayo kita pulang!” Jujur hatiku sangat sakit menamparnya seperti itu, tapi ini jalan yang aku pilih agar hubungan omong kosong ini segera berakhir.

“Maafin Rahayu, ya, Va.” Terdengar suara sopan Farrell di telingaku sebelum dia naik ke atas mobil. Aku menatap sinis ke arah Sava dan Niesha, aku merasa sangat bersalah, tapi tolong Sava kali ini jangan maafkan aku.

***

“Kita kayaknya harus bawa Rahayu ke psikolog lagi, Tam.” Farrell mengajak Tammy bicara serius di ruang tamu setelah dia mengantar Rahayu istirahat di kamarnya.

“Kenapa kamu ngasih saran kayak gitu?” Tammy malah terlihat acuh tak acuh menanggapi keinginan Farrell.

“Rahayu tadi pagi ketemu sama Sava dan Niesha di lapangan basket yang kayaknya dekat apartemennya Sava.” Okey, hal ini mulai menjadi hal serius bagi Tammy.

“Terus gimana, apa yang terjadi sama mereka?”

“Rahayu nampar Sava dengan keras kayaknya sampai Sava terjatuh.” Tammy menutup mulutnya kaget, tidak menyangka hubungan kedua sepupunya itu malah semakin pelik.

“Aku rasa penyakit kejiwaan Rahayu kambuh lagi, kemarin dia pingsan dan pas Sakya datang dia juga marah-marah sampai pecahin piring kemudian pingsan. Tadi aku lihat emosinya sangat meluap-luap, dia nyakitin dirinya sendiri dan berujung dengan dia nampar Sava. Itu udah menjadi banyak alasan yang membuat kita harus rujuk dia lagi ke psikolog dia untuk dirawat.” Farrell benar, ini adalah beberapa gejala yang ditunjukkan Rahayu saat pertama kali dia didiagnosa terkena penyakit mental.

“Ya udah biar nanti aku yang temani Rahayu ke rumah sakit, kamu nggak perlu temenin kita.” Ucapan Tammy malah membuat Farrel jadi bingung.

Lihat selengkapnya