“Kamu kenapa masih di sini?” Suara dingin itu menyapaku yang terdiam memandang rumah besar itu.
Aku menunduk, sebenarnya aku sangat takut dengan wanita paruh baya ini. “Dia sudah pergi dan saya rasa dia tidak perlu berpamitan denganmu, kan?” Nada ketus yang keluar dari mulut wanita ini sangat mengintimidasiku.
“Saya sudah bertemu dengan dia kemarin, Tante.” Entah kenapa mulut bodohku ini tidak bisa aku rem.
Wajahnya berubah murka. “Itu adalah kali terakhir kamu bertemu dengan anakku, setelah ini jangan harap kamu bisa bertemu dengan dia lagi!”
Aku mengangguk, aku tidak bisa bersuara karena takutnya nanti hanya tangisan yang keluar. Sebenarnya, tante Rani adalah tante kesayanganku. Sejak dulu orang tuaku sangat dekat dengannya bahkan kami sering belibur bersama. Bahkan ketika akhirnya aku kehilangan orang tuaku, tante Rani lah yang tulus hati menjagaku. Namun, sejak semua perasaan yang salah ini muncul, tante Rani mulai menjadi sangat membenciku.
“Dengar, Rahayu, aku akan menjodohkan Sava dengan seorang gadis yang tidak akan merusak nama baik keluarganya. Dia akan memulai kehidupan yang baik di sana dan karena itulah saya tidak mau tangan kecil kamu itu merusak semuanya.” Kebenaran itu hanya membuat hatiku semakin sakit. Sava akan bahagia dengan gadis yang dipilihkan tante Rani dan keadaan akan kembali membaik seperti semula, tapi kenapa hatiku merasa sangat sedih saat tahu aku tidak akan berakhir bersama Sava?
“Rahayu, kamu adalah boneka rusak. Jika kamu adalah boneka rusak maka rusaklah dengan sendirinya! Jangan mengajak anakku untuk ikut rusak bersamamu! Kamu mungkin sudah tidak bisa lagi untuk diperbaiki, tapi anakku, aku akan melakukan segala macam cara agar dia tidak ikut rusak sama seperti dirimu. Salah satunya tentu saja menjauhkan dia dari boneka rusak sepertimu.” Tante Rani meninggalkanku dengan perasaan yang benar-benar hancur.
Aku tahu kalau aku tidak akan pernah dianggap keluarga lagi olehnya dan seharusnya aku sudah siap dengan kosenkuensi itu saat aku memulai permasalahan ini. Mendengar tante Rani menyebutku dengan panggilan ‘Boneka Rusak’ sangat menyakiti jiwaku karena nyatanya ‘Boneka Rusak’ ini masih menganggapnya tante paling baik. Jika memang di matanya aku adalah seonggok boneka rusak maka biarlah aku rusak selamanya.
***
Sakya menatap Rahayu yang sedari tadi tertidur dalam keadaan gelisah, keringat bercucuran deras, sepertinya Rahayu mimpi buruk dan itu membuat Sakya khawatir. Tiba-tiba Rahayu terbangun dengan wajah panik bercampur kesal. “Aku bukan boneka rusak!”
“Tenang, Ra, tenang.” Sakya mengusap tangan Rahayu untuk menenangkannya.
“Aku bukan boneka rusak!” teriak Rahayu histeris kemudian mengamuk.
“Iya, nggak, Ra, makanya kamu tenang dulu!” Tentu saja Sakya jadi panik juga.
“Nggak! Aku nggak gila! Aku nggak rusak!” Rahayu melepaskan tangannya secara paksa dari Sakya dan setelah itu dia berlari ke sudut ruangan itu.
Sakya mendekati Rahayu pelan. “Ra, tolong kamu tenang dulu, nggak ada yang anggap kamu gila.”
“Jangan mendekat. Kalian semua berpikir aku tidak waras dan ingin membuang aku, kan? Pergi kamu.” Untuk mengusir Sakya, Rahayu membuang semua barang-barang yang ada di dekatnya.
“Berhenti, Rahayu! Pak Amran!” Sakya mencoba memanggil bantuan pekerja rumahnya yang berada di luar.
Pekerjanya itu masuk dan sangat kaget dengan barang yang sudah pecah berantakan. “Iya Den, astaga, saya panggil dokter lagi, Den?!”
“Iya, cepat!” Pak Amran bergerak cepat untuk menelpon dokter.
Rahayu menangkap pergerakan pak Amran dan itu semakin membuatnya gelisah. “Dia mau apa? Kalian mau tangkap aku, kan? Kalian mau mengurung aku, kan? Aku sudah bilang kalau aku nggak gila!”