Aku menghabiskan waktuku berkutat di dapur itu, sudah sebulan kebiasanku pagi hari belajar memasak dan dari siang sampai sore hari melakukan treatment. “Ada yang udah bisa dimakan nggak, nih?”
Aku melirik Farrell sinis. “Kamu habis jogging, badan bau keringat malah mau langsung makan. Mandi dulu sana supaya segar, aku mau bangunin Tammy dulu.”
“Siap kesayangan.” Farrell langsung menuju kamar mandi.
Setelah semua makanan tersedia di meja makan, aku berjalan ke lantai atas untuk membangunkan Tammy. “Tam, bangun gih, aku sudah siapin sarapan itu.” Tammy terbangun dengan masih setengah sadar dan aku tersenyum melihat wajahnya yang lucu.
Aku mulai membersihkan tempat tidurku dan membuang sampah bekas perbuatan kami yang seru-seruan nongkrong semalaman sampai akhirnya mataku tertuju ke amplop rumah sakit di meja. Aku terdiam kembali, perasaan bersalah kembali muncul, aku memakai nama dokter Gunawan untuk lari, tapi itu semua untuk kebaikan semua orang, kan? Aku membuka jendela kamarku untuk membuka udara segar, setiap mengingat akan hal itu dadaku langsung terasa sesak.
Tiba-tiba sebuah tangan hangat memegang pundakku, Tammy yang sudah agak segaran ada di sampingku. “Jangan bengong! Ayo kita turun ke bawah, Farrell udah berisik banget tuh dari tadi.” Aku tersenyum lalu mengikuti Tammy.
Hidupku kembali seperti ini, hanya ditemani oleh sahabat dan sepupu kesayanganku, seperti dulu saat mereka semua belum kembali. Semua ini aku jalani berdasarkan saran dari dokter Gunawan walau sebenarnya masih ada hal yang aku bingungkan. Dia berkata bahwa hal yang membuat aku sakit sebenarnya adalah hal yang akan membuat aku sembuh. Saran terbaik yang dia ajukan adalah agar aku menghadapi bukan menghindari, tapi aku mengenal fisikku sendiri makanya untuk saat ini aku menghindari sumber masalahnya.
Aku menatap Farrell dan Tammy yang saling bercanda di meja makan, keadaan Farrell sudah berangsur membaik. Kalau ditanyakan tentang hubungan mereka, semuanya berjalan baik-baik saja walau tanpa status. Kalau kalian bertanya kita sekarang ada di mana, kita ada di rumah peninggalan nenekku, mamanya mama. Penjaga rumah ini sangat memperhatikan rumah ini dengan baik dan ketika aku masuk ke rumah ini, bayangan papa dan mama sangat terasa. Itulah yang membuat aku menangis semalaman waktu pertama menginjakkan kaki di rumah ini, aku merindukan mereka.
“Hati-hati, Pak, ada barang pecah belah di dalam.” Aku memperhatikan Farrell yang memperingatkan pembantu itu. Aku menatap tempat sampah yang dibawa pergi pembantu itu, kalian jangan heran karena tentu saja selama sebulan ini ada hari di mana aku kambuh. Bedanya, psikologku yang baru menyarankan untuk menyulap salah satu kamar di rumah ini untuk aku pakai sebagai tempat pelampiasanku dan barang-barang yang ada di dalam juga adalah barang-barang yang tidak berguna sehingga ketika rusak, aku tidak rugi. Tenang saja, selalu disediakan satu petugas di dalam ruang itu yang menjaga diriku agar tidak melukai diri sendiri.
Setelah makan, aku berjalan keluar, ini adalah salah satu aktivitasku yang tidak diketahui Farrell dan Tammy. Aku mulai melipat secarik kertas origami hingga berbentuk angsa kemudian menuliskan nama Sava di sana. Aku mengikatnya dengan tali lalu menggantungkannya di belakang rumah. Ya, aku memang bodoh karena diriku sendiri yang berusaha menyembuhkan diriku, tapi diriku juga yang akan melukainya lagi. Aku merindukan Sava dan selamanya akan selalu begitu. Entah tersampaikan atau tidak, tapi setiap aku menuliskan namanya selalu teriring doa agar di mana pun dia, dia akan selalu baik-baik saja.
***
Eka memasuki kelasnya dengan malas-malasan, ketidakhadiran Rahayu di dalam kelasnya membuat kelasnya menjadi monoton. Teman-temannya banyak yang merindukan Rahayu karena memang Rahayu itu cantik dan ramah. Tidak sedikit juga dosen yang menanyakan tentang Rahayu kepadanya. Ingin rasanya Eka mencibir mereka karena untuk apa mereka mencari mahasiswi terpintar di fakultas psikologi itu? Mereka tidak ingat kalau mereka yang memberikan surat keputusan penangguhan kuliahnya? Sampai Rahayu harus cuti dari kampus dan akhirnya menghilang sama sekali dari kehidupan Eka.
Eka mengedarkan matanya dengan malas sampai dia terhenti ke seseorang yang sedang berhenti di depan pintu kelasnya, itu adalah Sava. Eka berjalan keluar kelas itu dan melewati Sava, entah kenapa Sava malah mengikutinya. Hingga sampailah mereka di tempat duduk dekat kelas Eka.