Psikologku menatapku lama, dia terlihat bingung dengan ekspresiku yang kelihatannya tidak terima dengan keiinginannya yang menyuruhku untuk kembali ke kota.
“Ini adalah treatment yang terakhir, Rahayu, sebenarnya beberapa hari terakhir ini emosimu sudah mulai stabil, tapi aku takutnya itu sebenarnya karena kamu menghindari akar permasalahannya yang tidak di sini. Maka dari itu saya meminta kamu kembali ke kehidupan kamu yang sebenarnya supaya kamu dapat menghadapi permasalahanmu itu dan kita lihat bagaimana kelanjutannya.” Aku membuang mukaku gelisah, aku hanya takut kalau sebenarnya aku memang belum mampu menghadapi ini.
“Aku tidak mau kembali lagi ke sana, aku tidak bisa.” Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Psikologku memegang tanganku erat. “Sampai kapan kamu harus lari, Ra? Dari semua cerita yang kamu utarakan ke saya, saya hanya bisa memberikan saran seperti ini. Hidupmu bukan di sini, Ra, hidupmu ada di luar sana yang mereka ingin kamu menghadapinya. Ra, hidup kamu bukan hanya tentang orang yang membencimu setengah mati, tapi juga tentang orang yang sangat mencintaimu, Tammy dan Farrell contohnya. Aku yakin sebenarnya Sava juga sangat mencintaimu dan bukan kesalahan dia sepenuhnya yang membuat kamu menjadi seperti ini.”
Lanjut psikologku lagi. “Ini tentang masalah mengutarakan dan mengikhlaskan, tentang masalah memilih dan menolak, kamu ada di fase yang membingungkan ini sampai kamu melukai dirimu sendiri karena tidak menemukan jawabannya. Temuilah dia Rahayu, pikirkan matang-matang jawaban apa yang harus kamu pilih dan jangan takut lagi untuk melihat ke Sava atau memikirkan perasaannya. Selamatkan dulu diri kamu sendiri baru kita selamatkan yang lainnya.” Aku menangis tersedu-sedu. Psikologku benar, aku hanya tidak mengerti langkah mana yang harus aku ambil. Aku terombang-ambing dengan kebingungan itu sampai aku tak bisa memutuskan akan berhenti di mana dan akhirnya terbawa arus.
“Ra …” Tangan Tammy mengelus punggungku untuk menyemangati.
“Apa pun keputusan kamu, aku selalu dukung kamu, Ra. Kalau itu menyakiti kamu jika kamu mau, aku akan selalu menolongmu. Kalau itu membuat kamu bahagia, aku akan ada di sana turut bahagia bersamamu, itu gunanya sahabat.” Aku memeluk Farrell, dia terlalu baik untuk menjadi sahabat dari diriku yang sangat menyusahkan ini. Hanya saja aku bersyukur karena dia dan aku berteman kemudian menjadi sahabat karena sampai kapan pun aku tidak akan bisa bertahan kalau dia tidak ada di sisiku.
Aku menatap psikologku, aku masih punya waktu untuk memikirkan tentang penawarannya, tapi entah kenapa aku sudah punya jawaban untuk penawaran itu. Aku kembali bukan untuk menemui dia dulu, tapi untuk menata semua yang pernah rusak. Setelah itu aku akan mempersiapkan hatiku untuk menata hubunganku bersamanya.
***
Sakya masuk ke ruang kerja papanya, dia mencari mamanya yang kata pembantu mereka ada di ruang kerja papanya. “Kamu di sini? Kenapa nggak hubungin mama dulu biar bisa masak buat kamu makan siang? Atalie ada di mana, kamu nggak bawa dia lagi?” Mamanya tersenyum senang melihat kedatangan anak bungsunya itu.
Sakya malah melempar kertas yang dipegangnya ke depan papanya. “Sava golongan darah apa pa, Ma?” Ditanyai seperti itu pastinya membuat papa dan mamanya bingung.
“Tentu saja darah O, kenapa kamu tanya begitu?” Mamanya menjawab pertanyaan Sakya dengan sangat enteng, seperti tidak akan ada yang salah dengan ucapannya.
“Apa kita harus menuntut rumah sakit ini karena sudah berani membuat data yang salah? Aku berusaha meyakinkan dokter itu kalau kakakku bergolongan darah O, tapi mereka tetap menulisnya dengan golongan darah B karena itu sudah dites dan seperti itu hasilnya!” Papa dan mamanya tentu saja kaget bahkan sampai mamanya terperanjat dari kursi.
“Dari mana kamu dapat berkas itu?” Mamanya membaca dengan seksama seluruh berkas anak sulungnya itu.