Singularity

Rezky Armitasari
Chapter #20

Singularity

Aku mendengar sesuatu yang hancur.

Tiba-tiba itu membangunkanku.

Aku mendengar sesuatu yang aneh.

Kucoba untuk menutup telingaku, tapi aku tidak bisa kembali tidur.

Aku terbangun ketika alarm hpku mulai berbunyi, sejujurnya bukan alarm itu yang membangunkanku, tapi mimpi buruk dan suara-suara yang bersarang dalam kepalaku. Suara yang sangat indah, tapi sangat menakutkan untukku karena diiringi dengan mimpi yang sangat buruk bahkan hampir membunuh jiwaku. Aku berusaha untuk tidak memikirkan suara aneh itu, tapi nyatanya suara itu selalu menghantuiku hingga akhirnya membuatku terbiasa.

Tenggorokanku terus sakit.

Kucoba untuk menutupinya.

Tapi aku tak punya suara.

Begitu juga hari ini, aku mendengar suara itu.

Sejak hari di mana aku pertama kali mendapatkan mimpi buruk itu sampai hari ini, hari yang ke 100, aku telah lelah menangis, berteriak dan memohon. Aku hanya diam dan menerima semuanya karena aku tidak akan mendapatkan kesempatan itu lagi. Aku tidak mau terus larut dalam mimpi buruk ini maka dari itu aku tidak mau menangisinya lagi. Walau pada akhirnya suara itu akan selalu bergema dalam otakku, aku akan selalu berusaha untuk mengabaikannya.

Suara itu berbunyi lagi.

Retakan lainnya terbentuk di danau yang membeku ini.

Kutinggalkan diriku di danau itu.

Kukubur suaraku demi dirimu.

Mungkin aku sudah gila karena sebenarnya suara itu sangat indah bagi orang yang normal.

“Aku mencintaimu.”

“Terima kasih.”

Itu adalah kalimat-kalimat yang sangat indah, bukan? Tapi bagiku, itu sangat menyakitkan bahkan menghancurkanku berulang-ulang kali. Aneh, bukan? Karena suara itu telah membuat hatiku retak dan pada akhirnya juga mengambil suaraku. Aku tidak salah kan membenci kalimat-kalimat itu berbeda dari orang normal biasanya?

Di atas danau musim dingin di mana aku ditinggal sendirian.

Ada lapisan es yang tebal.

Bahkan dalam mimpiku yang sesaat.

Khayalan yang menyiksaku masih sama.

Aku menatap hpku, beberapa pesan yang masuk dari orang-orang yang menyayangiku nyatanya masih membuatku sepi. Seperti aku membuat duniaku sendiri yang hanya ada aku di dalamnya dan tidak ada orang lain. Aku tahu kalau aku akan sakit jika aku terus seperti ini maka aku putuskan untuk tidak menyiksa pemikiranku sendirian lagi.

Apakah aku kehilangan diriku?

Atau apakah aku mendapatkan dirimu?

Aku mulai berlari ke danau.

Lihat selengkapnya