Tak ada yang marah meski aku membawa ponsel ke ruang makan. Isi piring baru saja habis. Aku meneguk air putih sambil membaca profil salah satu dari beberapa tempat praktik psikolog di kota.
“Iris! Buruan ke sini, sarapan!” Aku tak melihatnya sejak tadi. Bahkan saat ini pun, dia mengabaikan seruanku. “Iris!”
Samar-samar terdengar suara khas percikan api. Aroma benda terbakar membuatku spontan bangkit dari kursi. Aku bergegas menengok halaman samping kanan-kiri rumah, tiada siapa pun. Menuju pelataran depan rumah, tak ada yang terjadi.
Aku berlari secepat mungkin ke pekarangan belakang rumah. Lega sekaligus naik darah mengetahui Iris memanfaatkan kaca pembesar dan sinar matahari guna menciptakan api di atas kertas.
“Praktikum sains, Kak.”
Pintar sekali dia membuat alasan. Berharap aku tak mengambil alih benda-benda di tangannya, itu mustahil. Dengan sigap kurebut kaca pembesar, tetapi Iris cukup kuat untuk menahan.
“Aku lagi praktikum! Kak Sangria jangan ganggu!” Iris tak mau mengalah.
Tenaga lebih banyak kukerahkan. Iris masih saja teguh dengan pendirian, berusaha menyalakan api, kemudian akan menonton seolah pertunjukkan. Aku tak ingin mengambil risiko dengan membiarkannya melakukan hal itu.
Sialnya, Iris yang bertingkah tak karuan demi menjaga kaca pembesar di tangannya ketika kurebut, justru tak sadar menyenggol kertas membara. Dia memang tak apa, tetapi api langsung menyambar tumpukan kardus bekas di dekat kami.
Kobaran api menjadi-jadi. Hawa napas menerpa kuat. Asap tebal dan aroma tak sedap yang khas menusuk hidung. Sesaat aku mematung. Nyala merah seolah menghipnotis, aku tak berdaya.
Tiba-tiba kesadaranku kembali saat Iris berteriak girang. Entah bagaimana struktur otaknya sehingga dia sangat menyukai api, aku tak paham.
Sambil mengacak rambut gusar, aku buru-buru meraih selang di sudut rumah. Salah satu hal menyebalkan terjadi, apa pun yang kulakukan secara tergesa pasti hasilnya buruk. Keran sudah terbuka, tetapi air tak kunjung keluar.
Rasanya ingin gila saja, ketika kulihat api melahap hampir setengah tumpukan kardus. Kobaran kian membesar. Detak jantung melaju kencang bak mobil sport di arena balap, ditambah sorak sorai penonton.
Pikiranku hampir tak bisa bekerja. Tangan gemetaran. Mendadak keran air berubah menjadi lebih artistik, di atasnya terdapat guci transparan berisi cairan berwarna oranye. Tangan kiri seharusnya memegang selang, berganti gelas indah.
Apa-apaan ini? Jus jeruk di tengah pesta? Jangan bercanda!
“Sadarlah, Sangria!” Aku memejam kuat. Ketika membuka mata, apa yang ada di depan mata kembali normal, keran air dan selang.
Sekali lagi aku mencoba membuka keran. Kali ini berhasil. Aku segera meraih ujung selang, lantas mengarahkan aliran air ke kobaran api.
Api padam seluruhnya. Menyisakan beberapa tumpuk kardus bekas dan abu bercampur air. Aku mematikan keran, lantas menghela tenang.
Berbeda denganku, Iris justru kecewa.
Aku mengabaikan omelan Iris. Kugandeng tangan gadis itu agar ikut ke ruang makan. Masih ada satu piring dan segelas air utuh di atas meja—kusiapkan sejak tadi untuknya.
“Ada acara dokumenter hewan-hewan liar bentar lagi.” Aku menunjuk televisi, sengaja memberitahu tayangan favoritnya sekaligus mengalihkan perhatian dari kaca pembesar yang masih ada di pekarangan belakang. “Habis sarapan, nongkrong di ruang tengah aja.”
Iris mengangguk.
Pandangan tak lekang dari bocah satu ini. Aku memasang pintu tambahan di dapur dan melarang Iris mendekat agar dia tak menciptakan api. Ternyata aku salah, Iris cukup cerdas untuk mencari cara lain.
Aku menghela. Teringat dulu ketika Mas Adly masih ada. Meski jarang pulang karena urusan kampus, kehadirannya selalu kutunggu. Mas Adly membuatku lupa dari segala kejamnya kehidupan di rumah.
Mas Adly sanggup menenangkan dan mengatasi gangguan mental yang ada padaku dan Iris. Namun, saat ini aku terpaksa turun tangan menggantikannya. Di depan Iris aku selalu berpura-pura tegar, padahal jutaan air mata telah menjadi saksi keluh kesahku. Belum lagi bila Papa pulang, aku kian muak.