Aku tak bisa tenang, meski akhir pekan. Semalam teliti kubaca profil tiap psikolog di kota. Aku menemukan seseorang yang muda, terlihat bersahabat, dan mau datang ke rumah pasien untuk konsultasi.
Uang bulanan lebih dari cukup untuk memanggil psikolog, Thalia, datang. Usianya hampir dua puluh lima tahun, jauh lebih tua dariku yang masih duduk di bangku kelas sepuluh.
Kami sepakat untuk berpura-pura sebagai teman sekolah. Thalia tak keberatan dipanggil tanpa honorifiks. Aku merasa sungkan, tetapi dia bilang tak apa. Lagi pula, itu akan membuat penyamaran semakin alami. Ditambah paras awet muda Thalia, semua orang akan percaya bila dia masih remaja.
Aku mengajak Thalia duduk di depan televisi, bersama Iris juga. Awalnya kami mengobrol biasa sebagai pengurang kecurigaan. Saat ada kesempatan, Thalia beralih mengajak bicara Iris.
Tak terdengar ada pembicaraan serius berbau psikologi sama sekali. Thalia menggiring topik perlahan-lahan hingga Iris tanpa sadar menceritakan banyak tentang diri sendiri. Sesekali, Thalia menyenggolku agar ikut menyahut sehingga obrolan tetap terasa alami.
Usai tiga jam mengobrol, Thalia memintaku duduk di ruang tamu berdua, sedangkan Iris tetap di ruang tengah. Sebelumnya, aku telah menyediakan teh hijau dan beberapa kue kering sebagai jamuan.
“Jadi, bagaimana?” Aku memulai pembahasan terkait pengamatan Thalia pada Iris barusan.
Thalia menghela. “Menurutku … dia gak kelihatan ada masalah. Iris sempat curhat banyak, ‘kan? Tapi gak ada tanda-tanda dia trauma, beban pikiran, atau lainnya. Cara dia menghadapi kehidupan bener-bener baik. Iris bahkan punya pikiran yang senantiasa positif.”
Aku memiringkan kepala. Masih belum sepenuhnya paham.
Thalia tersenyum tipis, seperti dia tahu apa yang ada di pikiranku. “Dengan keadaan kayak gitu, kondisi mental Iris seharusnya baik-baik saja. Tapi, kalo nyatanya dia mengidap piromania, hal itu di luar kemampuan psikolog.” Dia menghela lagi. “Maaf, Sangria.”
Aku mengangguk kecil. Sekadar menerima fakta tersebut, masih bisa. Namun, otak ini semakin panas memikirkan cara lain untuk mengobati piromania Iris. Bisa saja aku menghubungi psikolog berbeda, tetapi bagaimana jika hasilnya sama?
“Sangria.”
Panggilan Thalia membuyarkan lamunanku. Aku tertegun karena dia tiba-tiba tersenyum manis dan tertawa kecil.
“Daripada Iris, kurasa kamu yang membutuhkan bantuan psikolog. Cuma bicara bentar aja aku udah tahu kalo kamu punya banyak tanggungan hidup. Yakin gak ada masalah sama kesehatan mentalmu?”
Aku memaksa senyum. Memang kenyataannya aku memiliki gangguan mental pula, agnosia visual. “I … iya sih, kadang suka gimana gitu rasanya. Tapi gak apa-apa kok, cuma gejala ringan. Aku juga bisa ngatasin sendiri.”
Kata-kata untuk menolak tawaran konsultasi dengan Thalia sudah kusiapkan. Nyatanya, Thalia langsung pamit sambil sekali lagi meminta maaf karena lepas tangan terkait piromania Iris.
Aku jadi terpikir tentang agnosia visual yang kuidap. Tanpa Mas Adly, memang sedikit lebih sulit untuk mengendalikan ketika kambuh. Namun, kurasa tak apa. Aku harus yakin, saat ini yang terpenting adalah Iris.
Sulit mengabaikan begitu saja lembaran dengan foto Putri Geya yang kutemukan di gudang. Aku kembali ke sana untuk memastikan apakah ada sesuatu yang berhubungan. Namun, mulai dari sudut-sudut lemari hingga debu-debu yang membuat bersin beberapa kali, aku tak melihat apa pun yang berarti.
“Jadi, di sini, ya?”
Suara asing membuat jantungku hampir lompat. Apalagi, seingatku semua pintu dan jendela rumah telah terkunci. Mana mungkin masih ada yang bisa menerobos masuk.