Cahaya menyala-nyala sepanjang bagian portal, membuatku takjub. Menerangi seisi gudang. Sensasi hangat di kulit terasa lembut. Sedikit silau, tetapi aku tak ingin mengalihkan pandangan.
Sian melepas jangka raksasa yang semula menancap kuat di lantai. Seketika, cahaya redup. Pensil besar dilepas, lantas dilempar pada Flin. “Bawa itu! Panji hampir sama seperti GPS, sebagai acuan di mana aku harus membuka Portal Titian saat kamu mau pulang.”
Flin menyimpan Panji baik-baik. “Gimana dengan Jangka Tumpu, Pangeran Sian?”
Aku tertegun, lantas agak merengkuh diri sendiri. Ingin rasanya bersembunyi di dalam lemari karena malu, aku baru sadar telah menyebut dua benda itu dengan istilah yang salah.
Sian kembali ke lagak bocah yang alami. “Kalo aku menancapkan Jangka Tumpu beserta Panji, itu bisa buat mengaktifkan atau mematikan fungsi portal. Sementara kalo Jangka Tumpu doang, tentu saja itu buat buka-tutup Portal Titian!” Dia meletakkan jari telunjuk di kepala.
Tak peduli dengan Flin yang membuang muka—mungkin tersindir, aku memandangnya dan Sian bergantian. “Bentar, portal apaan itu? Kalian gak bakal bawa makhluk aneh ke rumahku, ‘kan?”
Flin melambai tangan malas sebagai jawaban. “Lagian kamu udah setuju kan tempat ini kami pinjam.”
Secapat kilat aku menyahut, “Kapan?”
“Barusan,” ujar Flin enteng. “Mungkin kami bakal sering ke sini. Tapi gak apa, aku pastiin gak bakal ada penghuni lain rumah ini yang mengetahui keberadaan kami.”
Aku mengangkat alis. “Yakin?”
Flin mengangguk, lantas melangkah ke dalam lingkaran di lantai. Mendongak memandang pintu langit-langit terbuka. “Portal Titian merupakan portal antarwaktu. Sesuai misi kami, aku bakal kembali ke masa lalu, buat merebut Pedang Safir dari Putri Geya, agar di masa kini, Putra Mahkota Sirulean gak terbunuh dan bisa memimpin Kerajaan Buana Rubanah.”
“Antarwaktu ….” Aku teringat penjelasan Flin sebelumnya. Kemunculan piromania Iris berhubungan dengan Putri Geya, pasti karena peristiwa di masa lalu.
Flin memastikan sekali lagi Panji tersimpan di balik blazer—aku hampir mengira itu hanya cardigan biasa, ditambah bolpoin menggantung di saku. Pasalnya, dia melipat lengan kanan-kiri sehingga tak ada kesan semi-formal sedikit pun. “Buka portalnya, Pangeran Sian! Tahun 1942, di bekas Istana Kerajaan Hirap.”
“Piromania yang diidap Iris bakal sembuh kalo aku memperbaiki peristiwa di masa lalu, ‘kan?” ujarku, agak menyela pembicaraan mereka. “Kalo gitu, aku ikut!”
Flin memandangku sambil mengerutkan alis. “Apa kamu tahu apa yang harus diperbaiki?” Dia kian mengintimidasi begitu aku terdiam. “Lagian kamu juga punya agnosia visual, itu gak kalah berbahaya sama piromania.”
“Aku gak apa—”
“Apanya yang gak apa?” Flin menaikkan nada bicara. “Aku punya misi penting demi Buana Rubanah! Kalo kamu ngikut dan sampai ada apa-apa, aku malas campur urus!”
Kalimat Flin berbeda dengan prinsip yang menancap kuat di kepala, aku bukan bocah yang membutuhkan orang lain. “Aku gak memintamu ikut campur.”
Kulihat Flin tertegun. Berselang sebentar, dia mengerutkan alis. “Pegang ucapanmu.” Dia membuang muka, setelah secara tak langsung mengizinkanku bergabung. Namun, sesaat kemudian, Flin berbalik menghadapku kembali sambil menghela gusar.