Kelopak mata terbuka sedikit. Cahaya dari jendela kecil di sisi atas dinding terlihat menyilaukan, aku memejam kembali, sebelum indra penglihatan selesai menyesuaikan keadaan lingkungan dan aku bisa melihat dengan baik.
Perlu tenaga lebih untuk mengangkat tubuh bangkit dari posisi tiduran di kursi panjang. Aku memandang sayu—seolah nyawaku belum penuh—Flin yang berdiri menyandar dinding. “Kita di istana?”
Flin memandangku kesal. “Istana dengkulmu!”
Aku tak paham mengapa dia marah. Kepala masih sulit berputar, aku hanya membalas tatapan Flin dengan raut yang kuyakin tampak seperti orang bodoh.
Flin berdecak kesal sambil membuang muka.
“Aku haus! Boleh minta air sekalian aku bawain buat Sangria?” Lelaki imut tiba-tiba menyembul di sudut pandangku. Perlu sedikit menoleh guna memandangnya lebih baik, senyum lebar menggemaskannya makin familiar setelah beberapa kali muncul di hadapanku.
Aku mengerutkan alis. Bingung mengapa ada Sian di sini, aku langsung mengobservasi sekitar. Ruang luas, lemari kecil, kotak berisi mainan-mainan bekas, dan kursi panjang tempatku duduk saat ini. “Oh … kita udah pulang.”
“Aku menagih kata-katamu tadi, Ria.” Dia kemudian menirukan gaya bicaraku dengan berlebihan, “Agnosia visual gak separah itu, aku masih bisa ngatasi.” Lantas berteriak kencang, “Apanya?” Flin mencibir.
Dasar! Sikapnya sangat mengganggu. “Aku emang bisa ngatasi,” ujarku yakin.
“Kamu nabrak pilar gitu, lho!” Flin kain menaikkan suara.
Aku membuang pandangan ke segala arah. Berpikir sesaat.
Seingatku, ada beberapa prajurit KNIL menyergap para pemuda bangsa yang memberontak. Aku terkejut karena suara tembakan. Setelah itu berlari ke … lapangan hijau? Oh tidak, agnosia visual kambuh lagi!
Aku memandang Flin seraya memaksa tawa kecil.
Flin menghela. Tatapan kesal padaku tak kunjung sirna. “Kamu mengganggu misi kami.”
Aku mengerucutkan bibir. Tanpa diberitahu pun mengerti hal itu. Lagi pula, baru sekali agnosia visual kambuh saat di masa lalu, belum tentu akan begini lagi.
Flin melangkah ke arahku perlahan. “Seharusnya aku punya waktu lebih lama buat nyari Putri Geya dan mengambil Pedang Safir! Karena penyakit menyebalkanmu, kita terpaksa kembali lebih awal!”
Aku agak terkejut. “Kamu belum tahu di mana Pedang Safir itu?”
“Kalau aku tahu,” paras Flin memerah, terkesan mengerikan, “udah aku ambil dari dulu tanpa harus ngurus cewek penyakitan kayak kamu!”
“Flin ….” Sian hati-hati berbicara. Dia pasti tahu kalimat pemuda itu barusan kurang pantas.
Aku tak terima, dikira tak panas mendengar diri sendiri dianggap buruk oleh orang lain? Tanpa ragu kubalas tatapan tajam Flin. “Jaga omongan!”
“Itu berlaku buat kamu sendiri.” Salah satu sudut bibir Flin terangkat sedikit. “Gak malukah menarik kata-kata sendiri?”
Pupil bergerak ke bawah. Berat hati memandang untuk tetap Flin. Aku sendiri tak menginginkan gangguan mental, apalagi sampai merepotkan pemuda itu ketika kambuh. Mau bagaimana lagi, bukan niatku sendiri untuk mengkhianati ucapan sendiri. “Maaf soal itu ….”
Sian kian mempersingkat jarak. Menurunkan posisi kepala sambil mendongak guna memandang wajahku yang menunduk. “Tunjukkan lemari es, aku bakal ambilkan air buat Sangria … dan Sian juga.” Dia tertawa kecil, lucu didengar.
“Pangeran Sian!” Flin menggertak.
Perlahan aku bangkit dari kursi. “Aku aja yang ambil.”