Papa selalu berkutat dengan pekerjaan. Jarang sekali membalas pesan dari putri-putrinya selain hal penting. Aku dan Iris tidak haus uang, melainkan membutuhkan seorang pahlawan yang membimbing kami menjadi pribadi tangguh. Namun, itu tak akan terwujud.
“Papa ke sini buat marahin adikmu itu!” Dia menunjukkan-nunjuk. “Dasar anak gak tahu diri! Papa malu denger kabar dari gurumu kalo Iris mengacau! Kamu bukan bocah SD!”
Aku terkejut, ternyata guru melapor juga pada orang tua kami. Bukan hal baik, ini justru memperburuk keadaan. “Pa, Iris itu punya piromania—”
“Papa kerja keras, sedangkan kalian berbuat seenaknya di sekolah? Gitukah?” Papa membentak. “Sekali lagi ada apa-apa, Papa pindah Iris ke SMP luar kota!”
Amarahku selalu memuncak bila berada di dekat Papa. Aku tak takut sama sekali, justru malas menghadapinya.
“Bertahun-tahun dirawat orang tua, kok bisa kayak gini?” Papa memperhatikan kami dari atas ke bawah.
Semula aku ingin segera mengakhiri perdebatan. Namun, setelah tak sengaja melihat botol-botol bekas minuman keras di meja ruang tengah, aku enggan tinggal diam. “Apanya yang ngerawat?” Aku memutar balik ucapan Papa barusan. “Harusnya ngasih contoh baik—”
“Papa sudah lakukan!”
“Dengan bawa minuman kayak gitu ke rumah?” Suaraku meninggi. “Aku bisa mikir mana yang baik dan enggak buat ditiru, tapi Iris masih SMP. Dia rentan buat ngikutin kebiasaan Papa!”
“Itu sebagian tanggung jawabmu buat jagain Iris!”
“Papa!” Tak habis pikir, pria itu seolah melempar tugas padaku begitu saja. “Aku gak peduli Papa mengonsumsi minuman keras, tapi tolong jangan di rumah.”
Papa memandangku tak suka. “Ngatur kamu, Nak.”
“Kamu masih lama?”
Perhatianku teralihkan. Seorang wanita keluar dari kamar Papa. Sudah berulang kali hal seperti ini terjadi, aku tak terkejut lagi. Namun, mengetahui orang yang dibawa selalu berbeda, rasanya miris. “Siapa lagi?”
Papa meminta wanita itu untuk menunggu sebentar. Kemudian dia beralih menatapku tajam. “Bukan urusanmu, Sangria.”
Aku tak gentar. Niat untuk mengakhiri perdebatan makin tipis. Kulirik Iris, keberadaanya di sini kurang sesuai. “Iris, pergi ke ruanganmu,” ujarku lirih.
“Tetep di sini, Iris! Papa belum selesai ngomong!”
“Maksudnya belum selesai marah?” Aku mengalihkan pandangan menuju Papa. “Iris gak perlu dengerin hal itu.” Kemudian kembali menatap adikku. “Cepet, Iris ….”
“Sangria!” Papa memperingatkan.
Aku tutup telinga. Mendorong Iris pelan sehingga dia mau meninggalkan ruang tengah. Papa hendak mengejar Iris, tetapi aku menahan, “Aku muak, Pa.” Botol-botol minuman keras dan seorang wanita di ambang pintu kamar, miris melihatnya. “Aku ingin Papa pergi, lalu kembali kayak Papa yang dulu.”
Papa hanya memandangku beberapa saat, lantas beranjak. Hendak menyusul Iris.
“Biar aku yang urus Iris, Papa tinggalkan rumah aja.” Kalimatku berhasil membuatnya mengurungkan niat. “Aku bakal bilang ke guru SMP Iris buat menghubungiku, alih-alih Papa, kalo ada sesuatu.”
Papa mendekat padaku. “Nama baik keluarga kita ada di tangan kamu sama Iris. Kalo suatu saat Papa dengar macem-macem, Papa bakal turun tangan.”
Aku mengangguk. Sejak Iris pergi, nada bicaraku berubah rendah, lelah mengeluarkan tenaga lebih sekadar untuk meluapkan emosi. “Cukup, ‘kan?” Aku memberi kode menggunakan tangan agar Papa pergi.
“Aku harap kamu jadi anak yang lebih sopan.” Papa berlalu dariku. Mengambil tas kulit, entah berisi apa. Kemudian mengajak si wanita bersamanya. Sebelum meninggalkan ruang tengah, dia meletakkan dua amplop tebal di meja. “Kamu bisa telepon Papa kapan aja kalo kurang.”
Aku tak sepenuhnya merasa suka, “Ambil kembali.”