Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #8

06 || Sangria


Aku membaca cepat dari lembar ke lembar. Pasalnya, Buku Hirap memiliki tebal tak tanggung, hampir lima ratus halaman. Belum tuntas, mendadak Flin merebut buku. Aku mencibir, meski tak protes akan aksinya.

“Cukup!” Flin menyimpan kembali Buku Hirap ke dalam ransel Sian.

“Gimana bisa kamu tahu kalo Putri Geya yang bawa Pedang Safir?” Aku menyusul Flin menuju tengah gambar lingkaran di lantai gudang.

“Surat rahasia, cuma itu yang mungkin.” Flin merapikan blazer—gayanya masih sama, melipat lengan kanan-kiri. “Kalo udah baca Buku Hirap, kamu seharusnya tahu apa yang bakal kita hadapi nanti.”

Aku mengangguk. Berdasarkan kisah yang tertulis dalam Buku Hirap, kemungkinan kami akan sampai di masa lalu ketika terjadi pemberontakan kedua, dibawah pimpinan Sahasra.

“Portal Titian bekerja secara kronologis, peristiwa yang udah kalian lewati di masa lalu, gak bisa diulang lagi.” Sian kemudian memberi aba-aba. “Siap?”

Aku segera memasang wajah serius—tak tahu apakah sungguh terlihat serius atau malah seperti orang bodoh.

Sesekali kulirik Flin, aura pemuda itu berubah total. Dingin, agak menusuk. Seolah tiada ampun, aku seperti mencium aroma anyir tiap darah orang-orang yang pernah dibunuhnya. Flin seorang kesatria, entah berapa kali pedang dihunus menembus jantung lawan.

“Buka Portal Titian, Pangeran Sian!”

“Portal dibuka!” Jangka Tumpu ditancap kuat-kuat. Perjalanan kedua menjelajah masa lalu melalui Portal Titian dimulai.

Cahaya silau memancar dari pintu langit-langit terbuka. Sensasi tarikan membawaku ke ruang kosong. Hitam pekat di sekeliling mulai terasa familiar setelah dua kali ini kulihat. Bak nol gravitasi, terasa melayang-layang di angkasa bebas.

Aku menoleh, Flin ada di sebelah. Persis seperti sebelumnya. Sedikit demi sedikit, tarikan makin kuat. Beda halnya, untuk satu ini sepertinya sampai kapan pun aku tak akan terbiasa.

Mata spontan memajam erat. Masih saja aku terpikir seolah akan hancur menghantam sesuatu. Nyatanya, beberapa saat kemudian, aku sudah menapak lantai istana. Aku menghela napas lega sambil memperhatikan interior bangunan megah, masih sama seperti terakhir kali terlihat.

Sekarang aku perlu menyusun rencana, tentang apa yang harus dilakukan. Jujur, saat ini tak sepenuhnya paham, tetapi ini jelas menyangkut Putri Geya.

Aku ingat dalam Buku Hirap tertulis bahwa mantan prajurit Kerajaan Hirap sedang menyusup, berniat membawa pergi para putri untuk diamankan. “Kali ini aku bakal sengaja menunjukkan diri biar berhasil diamankan!”

Flin memandangku seraya mengerutkan alis. “Kamu yakin?”

Aku mengangguk.

Ekspresi Flin berubah, dia terlihat sama sekali tak percaya akan ucapanku. Pemuda itu melangkah mendekat ke jendela besar istana. Sorot tajam bak elang memperhatikan pemandangan luar. “Sekarang aku tahu kenapa aksi para mantan prajurit Kerajaan Hirap mengamankan putri-putri gagal.”

“Maksudmu?”

Flin menunjuk. Aku mendekat guna mengikuti arah jemarinya, keadaan di luar istana. “Perhatikan baik-baik. Pasukan KNIL yang berjaga, berkurang. Pemberontakan rakyat pasti terjadi bersamaan. Keadaan kacau sehingga mantan prajuit Kerajaan Hirap gak memungkinkan buat membawa putri-putri keluar dari istana.”

“Tapi sekarang Putri Paramitadewi berbeda, aku bisa membantu, biar para mantan prajurit Kerajaan Hirap tetap bisa membawa kami pergi.”

Flin mendengus. “Lakukan sesukamu.”

Aku tak paham mengapa Flin terus saja meremehkan ideku, padahal ini brilian. Biarlah, akan kulakukan sendiri. Aku meninggalkan Flin, menjelajah seisi istana.

Tak sengaja melirik salah satu sisi lorong, aku mendapati dua lelaki mengenakan baju serba krem dengan badge familiar—sama seperti logo yang tertera di halaman pertama Buku Hirap. Tanpa banyak tanya lagi, mereka pasti sebagian mantan prajurit Kerajaan Hirap yang menyusup.

“Tuan Putri?”

Langkahku terhenti seketika. Terbelalak dan mulut terbuka lebar. Ini pertama kalinya aku berinteraksi dengan orang asli masa lalu. Gadis muda, pakaian sederhana, sepertinya pelayan istana.

“Apa Anda ingin camilan? Kebetulan kapal pengangkut makanan baru datang.” Dia tersenyum.

Aku tertawa kecil. “Gak ap—tak perlu. Aku masih kenyang, mungkin camilannya bisa ditambahin ke dinner—maksudku, makan malam nanti.” Keringat dingin bercucuran. Semoga saja dia tak menyadari, sikap Paramitadewi pasti terlihat berbeda kali ini. Aku masih kesulitan menghapus kebiasaan gaya bicara modern.

Dia hanya memandangku cukup lama. Aku tak tahu harus berkata apa dan gadis muda ini pasti sedang berpikir ada apa gerangan dengan tuan putrinya. Sekujur tubuhku terasa panas, seiring detak jantung kian cepat.

Lihat selengkapnya