Kesatria garis depan tak boleh lengah barang sedetik. Kami tanggap akan segala hal yang mengancam keamanan dan keselamatan Kerajaan Buana Rubanah beserta rakyat-rakyatnya.
Seruan menggema kencang, para kesatria dipaksa siap ketika satu dua orang asing diketahui memasuki Kerajaan Buana Rubanah. Aku bertugas di gerbang istana, menunggu laporan dari penjaga perbatasan apakah mereka sanggup mengatasi orang-orang tersebut dengan baik atau tidak.
Tiga hari berlalu, tak ada kabar sama sekali. Saat matahari buatan samar-samar menyala di ufuk timur, pemberitahuan darurat menyebar hingga kesatria garis depan, para pelindung istana. Tak ada jeda barang sedetik, ledakan memecah telinga.
Pertempuran tak terhindar. Orang-orang asing dikira hanya sedikit, nyatanya pasukan Kerajaan Anataraloka—kerajaan langit—sejumlah enam puluh ribu. Kesatria Buana Rubanah unggul sepuluh ribu sehingga aku cukup percaya diri.
Pertumpaham darah berlangsung kilat, kurang dari tiga hari. Tentu saja kami menang, aku bahkan memenggal kepala pimpinan pasukan Antaraloka, Pangeran Muda Anilam yang terhormat—bagi rakyatnya, tetapi tidak untukku.
Namun, pasukan Kerajaan Antaraloka sangat kejam. Lebih dari setengah rakyat Buana Rubanah menjadi korban tak bersalah. Yang paling parah, pimpinan agung Buana Rubahan, Raja Biiru tertembak oleh Pangeran Muda Anilam—tepat sebelum aku memenggal kepalanya.
Selain itu, Pangeran Muda Anilam juga sempat merebut Pedang Safir milik Putra Mahkota Kerajaan Buana Rubanah, Sirulean, lantas menggunakannya untuk menusuk sang pemilik asli senjata tersebut.
Pangeran Muda Anilam lolos dari penjagaan kesatria Buana Rubanah, dia berhasil mengirim Pedang Safir ke Kerajaan Antaraloka—dan hingga saat ini masih di sana.
Dalam keadaan kerajaan yang kosong akan pimpinan, kami para kesatria tetap berjuang menghabisi pasukan Kerajaan Antaraloka hingga tak tersisa.
Untuk sementara, adik Mendiang Raja Biiru, Wilis, memimpin Kerajaan Buana Rubanah dengan gelar adipati. Sesungguhnya Pangeran Sian bisa langsung naik takhta menjadi raja, tetapi dia menolak.
Mau tak mau, Adipati Wilis tetap memegang kendali Kerajaan Buana Rubanah selagi aku dan Pangeran Sian berjuang menjelajah masa lalu guna mengambil Pedang Safir sehingga Putra Mahkota Sirulean tak pernah memilikinya. Dengan begitu, kemungkinan Putra Mahkota Sirulean terbunuh menjadi nol, dia akan tetap hidup serta bisa naik takhta usai meninggalnya Raja Biiru.
Mungkin ada yang bertanya mengapa aku tak kembali ke beberapa saat sebelum pertempuran pecah dan merebut Pedang Safir dari Putra Mahkota Sirulean. Bisa saja itu dilakukan, tetapi tak menjamin Putra Mahkota Sirulean tetap hidup.
Pasalnya, keberadaan Pedang Safir sejak sekian dekade lalu telah memicu gesekan antara Kerajaan Buana Rubanah dan Kerajaan Antaraloka tentang kepemilikannya.
Satu-satunya cara adalah mengambil Pedang Safir sebelum salah satu dari kedua kerajaan mengetahui keberadaannya, yaitu ketika Pedang Safir masih menjadi senjata terkuat Kerajaan Hirap.
Aku mendapatkan informasi—Buku Hirap—dari perpustakaan terlengkap di Buana Rubanah. Tak tahan mengumpat ketika halaman paling penting justru telah robek dan hilang. Seluruh penjuru kerajaan kusibak, tetapi tak juga ketemu.
Atas saran Pangeran Sian, akhirnya kami pergi ke permukaan bumi. Siapa kira, aku menemukan halaman secepat kilat. Bahkan kami mendapat titik khusus, satu-satunya tempat di mana Portal Titian menuju Kerajaan Hirap dapat dibuka.
Ruang gudang seorang gadis manusia dan keluarga menyedihkan. Anak penyakitan yang harus mengobati adik penyakitan pula. Jika ada Pangeran Sian dan aku memanggilnya dengan sebutan seperti itu, dia pasti akan marah. Entahlah, aku tak paham mengapa Pangeran Sian repot-repot membelanya.
Ria—aku malas memanggil nama panjangnya, Sangria—tersentak. Duduk di kursi kayu halaman belakang, dia perlahan memandangku. Tak ada protes, sepertinya dia tak mendengar bagaimana aku memanggilnya barusan.
“Flin ….” Ria terlihat seperti setengah sadar. Aku jadi teringat penjelajah masa lalu pertama kami. Agnosia visual Ria kambuh, aku tak tahu apa yang dilihatnya hingga dia menabrakkan diri ke pilar Istana Kerajaan Hirap. Mau tak mau aku menggendongnya bak tuan putri, lantas meminta Pangeran Sian membuka kembali Portal Titian. Kami terpaksa pulang sebelum waktu yang kurencanakan.
“Kambuh lagi?” Aku sengaja ketus. Sejak awal datang kemari dan melihatnya duduk termenung, tatapan kosong, sudah kutebak ada yang tak beres.
Ria menunduk, kemudian mengangguk pelan. “Hanya sedikit, gak parah. Aku bisa ngatasi kok,” suara lirihnya hampir tak terdengar.
Sedikit katanya? Aku tak bodoh. Meski sebagian wajah tertutup rambut poni ketika menunduk, masih terlihat raut yang melukis makna sebaliknya dari kata-kata Ria. Baiklah, aku memang tak menjamin hal itu, tetapi ekspresinya memang meragukan.
“Kamu mau menjelajah masa lalu?” Ria bangkit, melangkah melewati pintu belakang rumah. Menuju gudang.
Aku mengekor. “Aku gak mau buru-buru menjelajah masa lalu, untuk sementara ini.”
“Kenapa?” Ria terdiam usai membuka pintu gudang.