Melihat pemuda menyebalkan di dalam gudang rumah, membuat semangatku luntur. Aku mencibir. Melangkah masuk dan menutup pintu. Jika tak ada Sian beserta paras manisnya, aku lebih memilih merobohkan gudang.
Ah, maaf. Kutarik kata-kataku. Aku memerlukan gudang, termasuk Portal Titian guna menjelajah masa lalu. Mengatasi piromania Iris.
Seringai Flin mengembang. “Aku bakal seneng banget kalo bisa menjelajah masa lalu tanpa kamu! Bebas!”
“Flin!” Aku menggertak.
Kesan menyebalkan Flin sudah tertancap kuat di otakku, kian menjadi pasak ketika dia tak menggubris. Dari posisi menyandar dinding, Flin berjalan menuju lingkaran di lantai gudang. “Kamu tahu Bahasa Proto-Austronesia?”
Aku mengerutkan alis. Seperti pernah mendengarnya di tengah penjelasan guru sejarah. Istilah yang identik dengan peradaban purba.
“Bahasa Proto-Austronesia dipakai leluhur kita ngobrol,” Flin bergaya bak arkeolog menuturkan temuan terbarunya, “dan kamu tahu apa? Bahasa inilah yang tertulis di surat rahasia Putri Geya dari Raja Ganendra, menggunakan Aksara Brahmi.”
“Kok bisa?” Aku mengerutkan alis. “Kerajaan Hirap bertahan sampai masa kolonial, harusnya Bahasa Melayu udah ada dong. Kenapa repot-repot pake bahasa purba?”
“Menurutku,” Flin masih menggunakan gaya sok, “hal itu disengaja agar suratnya bisa dapat embel-embel rahasia. Bahasa Proto-Austronesia muncul sekitar lima ribu tahun sebelum Masehi, sedangkan Aksara Brahmi berkembang sekitar abad kelima Masehi.” Flin mengangkat bahu, “Tahunnya gak sesuai, ‘kan? Makanya, aku pikir gak ada alasan selain Raja Ganendra emang pengen memperumit isi surat.”
Aku memahami penjelasan Flin, termasuk pendapatnya—sepemikiran denganku. Kami seolah memecah teka-teki tertinggal di bongkahan tua. “Tapi, Flin … kenapa Raja Ganendra bikin suratnya jadi rahasia? Maksudku, kalo beliau ingin menyampaikan sesuatu ke putrinya, kenapa pake cara ribet banget?”
Flin perlahan mengalihkan pandangan dariku, menuju Sian yang berdiri di dekat bekas tancapan Jangka Tumpu. “Sesuatu pasti terjadi. Kita harus siap kalo-kalo situasi memburuk. Raja Ganendra hidup dan melihat segala sesuatu yang terjadi di tahun 1942. Sementara kita enggak.”
Aku melipat bibir. Datang ke tempat asing—benar-benar asing, bukan sekadar lingkungan berbeda, posisi waktu pun jauh di belakang—tak menutup kemungkinan banyak hal belum kuketahui. “Apapun yang terjadi, aku bakal siap, Flin.”
Tatapan kami kian jelas beradu, seiring aku melangkah menuju lingkaran di lantai gudang. Berdiri tepat di sebelah Flin.
Flin mendecak. “Tapi … agnosia visual yang ada di dirimu pasti gak mengatakan hal sama.”
Tawa renyah nan lirih Sian terdengar. “Jangan debat lagi, ya … aku capek nungguin.”
Flin mendengus, lantas beranjak. Dia mengambil buku dari ransel Sian yang tergeletak, kemudian dilempar padaku. “Kamu butuh bekal.”
Bola mataku membulat, membaca sampul Buku Hirap.
“Baca beberapa halaman aja. Aku gak mau membuang-buang waktu.”
Pandanganku seketika beralih pada Flin. Senyum mengembang lebar. Tak kusangka kali ini dia membiarkanku ikut serta menjelajah masa lalu tanpa perlu adu mulut lebih dulu. “Tenang aja, aku bisa teknik membaca cepat!”