Prajurit KNIL ditugaskan di halaman istana hingga area luar dinding pelindung tebal nan tinggi dan di sekitar jalan. Agak mencurigakan bila salah seorang dari mereka memasuki istana. Maka karena itu, aku bersikap seolah sedang melakukan pemeriksaan—entah kegiatan seperti ini sungguh ada atau tidak.
Aku bergaya seolah sedang memastikan keamanan di dalam istana. Usai menengok lorong, aku mengangguk-angguk kecil. “Tak ada masalah,” gumamku. Kemudian beranjak ke sisi lain.
Istana Kerajaan Hirap memang tak seluas milik Buana Rubanah. Namun, tetap saja membutuhkan waktu mengelilinginya.
Sejak awal, aku tak membawa serta surat rahasia Putri Geya. Hanya melihatnya sekali, sudah cukup. Lagi pula aku menghafalnya, meski ditulis menggunakan Aksara Brahmi dan Bahasa Proto-Austronesia—asing bagiku. Sebagian isi yang telah kuterjemahkan.
Abaikan paragraf pertama. Itu hanya pembuka. Semacam basa-basi Raja Ganendra pada putrinya. Langsung saja ke paragraf dua.
belakang rumah, perut rumah, serambi debu
Sisi belakang istana. Aku tak paham maksud frasa kedua—bisa saja berarti ruangan, tetapi akan bertentangan dengan frasa selanjutnya yang menunjuk pelataran belakang istana.
Satu dua kali aku berpapasan dengan gadis-gadis pelayan istana. Mereka langsung menunduk, tampak ketakutan.
Bagian paling belakang dari istana menyerupai balkon di rumah-rumah modern. Selebar tiga puluh meter—sedikit lebih kecil dari luas bangunan utama istana, menjorok hingga lima belas meter.
Pilar-pilar penyangga dibangun kokoh, berdiri tiap sepuluh meter. Bangunan utama memiliki atap lapis tiga dengan tingkat teratas lancip menyerupai limas segiempat, sedangkan pelataran belakang hanya memiliki satu lapis atap.
Aku tak merasakan sesuatu yang aneh di pelataran belakang. Bila frasa serambi debu bukan yang terpenting, artinya aku harus lebih fokus ke frasa kedua. Ruangan!
Sepanjang pelataran belakang, ada empat ruangan berjajar di dalam istana yang tepat bersebelahan dengannya. Gudang makanan di ujung kiri, dapur di ujung satunya. Di tengah, ada dua ruang yang bergabung menjadi satu—memiliki sekat di tengah, serta masing-masing pintu di kanan-kiri—yaitu tempat bersantai keluarga kerajaan dan satunya diperuntukkan tamu.
Aku menjelajah lorong, melewati empat ruangan sekaligus. Kemudian kembali ke pelataran belakang. “Gak ada apa-apa.” Aku memutar otak melebihi kecepatan cahaya, sambil menyangga dagu. Kali ini aku sungguh memastikan, tak ada yang salah dengan pelataran belakang.
ruang tutup rapat, kunci kukuh, empat jalan
Tidak salah lagi, Raja Ganendra pasti menunjuk salah satu ruangan dari keempatnya.
ruang duduk-duduk kita, ruang duduk-duduk tamu
Orang-orang yang masuk kategori kita bagi Raja Ganendra adalah keluarga kerajaan. Cepat aku paham, Mendiang Raja menunjuk sepasang ruang bersantai.
Kukatakan tidak pada ruang santai tamu karena cukup berisiko menyimpan senjata penting semacam Pedang Safir di sana. Pilihan terakhir, aku bergegas memasuki ruang bersantai keluarga kerajaan.
Ruang seluas tujuh meter. Meja lingkaran, satu kursi panjang, dan tiga kursi kecil mengelilingi.
Struktur kayu berkualitas tinggi. Warna mengkilap. Ukiran bermotif batik unik—aku pernah melihatnya di gapura istana dan pakaian Putri Paramitadewi maupun Putri Geya. Bantalan empuk pada dudukan kursi, sandaran tangan, dan punggung.
Jendela besar tertutup tirai. Bila disibak, menampilkan elok sang surya meninggalkan tanah bumi diiringi jingga memoles segala sisi. Ranting-ranting berayun oleh deru angin, bak menyanyikan irama penenang hati.
Memang tempat sempurna untuk mendinginkan pikiran.
Beberapa lemari tertata menyandar dinding, mulai ukuran besar hingga kecil-kecil. Butuh banyak waktu membongkar satu persatu, juga terkesan mencurigakan bila seseorang mengetahui.
antara dua, lihat benteng hilang
Aku sama sekali tak paham maksud kalimat terakhir di paragraf dua. Untuk saat ini, abaikan saja dulu. Lagi pula, perkiraanku tak terbatas. Masih ada tempat lain yang memungkinkan menjadi lokasi disimpannya Pedang Safir.