Sinkronisasi Jiwa

Adinda Amalia
Chapter #16

11 || Sangria


Sejenak pun aku tak meninggalkan Putri Geya sendirian. Kami menghabiskan banyak waktu di ruangannya. Mengobrol. Bercanda tawa. Dia juga suka hewan-hewan, seperti Iris. Bedanya, Putri Geya mengagumi, sedangkan Iris menganggapnya menggemaskan.

“Selain menunggang kuda, saya sangat ingin melihat serigala di hutan!” Putri Geya antusias.

Aku tertawa kecil. “Itu berbahaya.”

“Saya tahu, Mbakyu. Namun, serigala sangat pemberani. Benar, ‘kan?”

Tanpa ragu, aku mengangguk. Mood gadis ini jauh berbeda. Tak ada rasa takut, khawatir, atau sejenisnya. Dia melepas semua, menceritakan segala hal. Kerinduan akan teman-teman di luar, bermain bersama, berlarian bebas.

Putri Geya menghela. “Saya senang karena Belanda membiarkan kami hidup. Kami boleh tetap tinggal di istana, tetapi mereka sangat mengekang.”

Hal serupa tertulis di Buku Hirap, Belanda membiarkan putri-putri tetap di dalam istana. Namun, pergerakan sangat dibatasi. Tersisa Putri Geya dan Putri Paramitadewi seorang. Berbeda denganku yang bisa ke mana-mana tanpa larangan, keduanya justru hanya diam.

Ngomong-ngomong soal Belanda, keberadaan prajurit KNIL di sekitar istana menurun signifikan. Aku tak tahu pasti. Kemungkinan, berdasarkan isi Buku Hirap yang sempat kubaca, sebagian besar prajurit KNIL pergi mengawasi rakyat bekerja secara langsung.

“Mbakyu.” Putri Geya mengalihkan pandangan padaku usai mengintip keluar ruangan. “Pengawasan Belanda sepertinya agak senyap. Bersedia pergi ke istana kecil?”

Aku terkejut. istana kecil? Apa maksudnya halaman belakang istana? Mana mungkin. Seingatku hanya ada istana utama dan aula—aku sempat melihat di seberang jalan. Buku Hirap tak pernah menyebut ada bangunan kerajaan lain.

“Bagaimana Mbakyu?” Putri Geya tersenyum lebar.

Lamunanku buyar seketika. Walau berliput sejuta tanya, aku tetap mengikuti keinginannya.

Keluar dari istana utama melewati pintu belakang. Menyusur pekarangan luas, penuh rumput hijau. Tanaman setinggi pinggang di kanan-kiri. Jauh dari mata memandang, deretan pohon menjulang tinggi. Rimbun bak hutan luas.

Samar-samar bangunan tua terlihat. Setapak kecil terbentuk beberapa meter di depan pintu. Gugusan lumut terlukis sepanjang dinding bawah. Terkesan terbuang dan tak berpenghuni, siapa kira pintu masuk dapat dibuka.

“Putri Geya ….” Aku tak bisa mengubur khawatir ketika dia percaya diri memasuki bangunan tua—sepertinya perlu kusebut istana kecil.

Tak lupa kututup pintu kembali. Dinding, meja kecil, kursi, lampu-lampu tradisional, seluruhnya penuh debu. Tumpukan perabotan tua, retak di beberapa sisi. Lorong sempit. Seketika tubuhku bergetar hebat, dibuat ngeri.

Aku sungguh tak percaya bila tempat ini dihuni oleh seseorang.

Putri Geya tiba-tiba mempercepat langkah. Dia membuka salah satu pintu ruang tanpa ragu. “Kangmas Pramana!”

Terkejut bukan main aku mendengar nama itu. Usai menengok ke balik pintu, bola mata membulat sempurna. Jauh di sisi belakang bangunan tua, terdapat satu ruangan bersih dan rapi. Ranjang, meja persegi panjang, beberapa kursi, lemari, bahkan beragam camilan dan teko minuman telah tersaji.

“Mbakyu, cepat!” Putri Geya memanggil. Belum-belum, dia telah mengambil duduk dan mencicip satu camilan.

“Adikku Paramitadewi, lama sekali kita tak berjumpa.” Suara laki-laki familiar di telingaku. 

Selesai mengedar tatapan ke penjuru ruang, aku beralih memandang seseorang yang duduk tak jauh dari Putri Geya. Celana hitam, kain membalut pinggang dengan satu sisi menjuntai menyentuh alas kaki.

Kemeja putih, dilapis baju lengan panjang bermotif batik unik seperti pada pakaianku dan Putri Geya. Sesuatu seperti syal melingkar dari punggung dan menggantung di pundak sepanjang dada bawah. Serta blangkon terpasang sempurna di kepala.

Laki-laki itu tersenyum lebar. Memandangku lekat. “Duduklah, Adikku Paramitadewi.”

“Kangmas—” Aku seketika mematung. Buku Hirap tak menyebut tentang putra Raja Ganendra sama sekali. Namun nyatanya, kami memiliki kakak lelaki!

Lihat selengkapnya