Aku menggiring Iris menuju halaman belakang rumah. Diperlukan tempat luas atau rentetan bahaya akan menerpa tiap detik. Benda ini sesungguhnya bernilai tinggi—tak boleh sembarang digunakan—di Buana Rubanah, tetapi permukaan bumi memiliki peraturan berbeda.
Tongkat sepanjang satu meter setengah. Terbuat dari kayu berlapis taburan butiran batu mulia aquamarine yang dikeraskan. Kedua ujung diberi pelindung khusus. Aku membukanya sehingga tampak ikatan sumbu selebar dua belas sentimeter, masing-masing berlapis minyak.
Lebih dari seratus kali aku melakukan ini di Buana Rubanah, sebuah pertunjukkan terhormat dari keluarga kerajaan. Tak kusangka harus membawa tradisi tersebut ke permukaan bumi, meski bertujuan lain.
Aku membalik badan—menghindari kemungkinan dia melihat sehingga fokusnya beralih—sebentar guna menyulut api di kedua ujung menggunakan pemantik. Kini tongkat telah sempurna. “Kamu siap, Iris? Bersyukurlah karena bisa lihat pertunjukkan atraksi api!”
Halaman belakang rumah dikelilingi pagar dinding nan tinggi. Tak perlu khawatir orang lain mengetahui kami. Aku bebas memamerkan seluruh kemampuan. Mengayun ke samping, depan, belakang. Memutar di depan bak mayoret. Melempar ke atas, lantas menangkap sempurna.
Aku melirik Iris sesaat, senyum lebar tak tertahan—ini hal biasa ketika aku melakukan pertunjukkan atraksi api di Buana Rubanah. “Gimana?”
Iris terlihat jauh lebih sumringah dibandingkan tadi—ketika sekadar berdiri di depan api kompor. Dia memberi dua acungan jempol. “Keren!”
“Belum selesai!” Aku melanjutkan aksi. Jemari lihai memutar-mutar tongkat. Kali ini kuposisikan di samping tubuh, belakang, ke samping satunya, lantas kembali ke depan.
Ditambah gerakan-gerakan—bukan seperti bela diri, melainkan tarian indah—kubawa tongkat kesana kemari. Dalam kecepatan tinggi, cahaya api seolah tertinggal dan menimbulkan efek layaknya ekor komet.
Bak di atas panggung, aku menjajah satu sisi ke lainnya. Tak boleh meninggalkan kesan kosong di satu titik pun. Menggunakan rangkaian akrobat, aku dapat menjangkau sekian meter jauhnya dengan mudah, juga elok.
Aku hafal kapan rakyatku—penonton—berdecak kagum dan bertepuk tangan paling meriah. Itu saat ini. Baiklah, sekarang memang hanya ada Iris. Tak jauh berbeda, dia bergegas menghampiri sesaat setelah aku mengakhiri pertunjukkan api. “Luar biasa!”
Berbalut bangga, aku mengangkat dagu sedikit. “Mana yang lebih bagus? Pertunjukkan barusan atau api kompor?”
Senyum Iris melebar berjuta kali. Dia tak menjawab, tetapi jari telunjuknya mengarah padaku.
Aku tertawa kecil. Menyimpan tongkat api di belakang agar aman. “Iris, api itu panas, api bisa menyambar dan membakar apa pun. Itu berbahaya. Kecuali, kalo kamu hati-hati.”
“Iris hati-hati!” Dia percaya diri.
Bibirku mengerucut. “Kurasa kamu perlu mikir dua kali.” Aku mengangkat alis sedikit. “Lagian Iris,” ujarku cepat sesaat setelah muncul tanda-tanda hendak protes di raut Iris, “ada api lain yang lebih seru.”
Iris terdiam sesaat. Tampak berpikir. “Barusan?”
Aku mengangguk, lantas agak membungkuk guna mendekatkan wajah. “Lain kali kalo kamu mau lihat api, aku bisa nunjukin atraksi kayak gitu—”
Belum-belum, Iris sudah mengangguk semangat.